Skip to content

Komentar Syaikh Al-Utsaimin Seputar Hukum Masuk ke Parlemen

Komentar Syaikh Al-Utsaimin Seputar Hukum Masuk ke Parlemen
Pada bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait mewawancarai Syaikh Muhammad bin shalih Al-Utsaimin, seorang ulama besar di Saudi Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara. Berikut ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke dalam parlemen.

Majalah Al-Furqan :. Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah, tentang hukm masuk ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah ini ?

Syaikh Al-Utsaimin : Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan. Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik. Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu.

Majalah Al-Furqan :. Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga Amar Maruf Nahi Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang menolaknya dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Apa komentar Anda dalam hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih Anda bagi mereka yang menolak lembaga ini dan yang mendukungnya ?

Syaikh Al-Utsaimin : Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu para ikhwan kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia mereka. Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi Munkar menjadikan simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah hamba Allah SWT. Jelas bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait.

Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin : Majalah Al-Furqan. Apa hukum masuk ke dalam parlemen ?

Syaikh Al-Utsaimin: Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala.

Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah unutk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya dimana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.

Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak.

(lihat majalah Al-Furqan Kuwait hal. 18-19)

Jadi kita memang perlu memperjuangakan Islam di segala lini termasuk di dalam parlemen. Asal tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan kami masih punya 13 ulama lainnya yang juga meminta kita untuk berjuang menegakkan Islam lewat parlemen. Insya Allah SWT pada kesempatan lain kami akan menyampaikan pula. Sebab bila semua dicantumkan disini, maka pastilah akan memenuhi ruang ini. Mungkin kami akan menerbitkannya saja sebagai sebuah buku tersendiri bila Allah SWT menghendaki.

Wallahu a`lam bishshowab. Wassalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Pusat Konsultasi Syariah
Office : TB Simatupang 12 A Lenteng Agung
Jagakarsa Jakarta Selatan Indonesia

diambil dari: http://syariahonline.com/konsultasi/?act=view&id=5391

Tuduhan Terhadap Ikhwan dan Jawabannya

Tuduhan Terhadap Ikhwan dan Jawabannya
Ada pepatah terkenal berbunyi, “Tidak ada gading yang tidak retak.” Artinya, manusia sebaik dan sehebat apa pun, selain al ma ‘shum, pasti memiliki kekurangan. Begitupun dengan Ikhwanul Muslimunyang lahir bukan tanpa kritik dan cela dari dalam maupun dari luar. Kritik yang diarahkan kepadanya harus dipandang sebagai bentuk nasihat yang berguna dan bukan upaya pelecehan yang merendahkan. Sebaliknya, celaan yang datang bertubi-tubi kepadanya sarna sekali tidak akan pemah membuatnya rendah dan hina di mata umat.

Tidak ada yang mengingkari bahwa kritik adalah sesuatu yang berguna dan dibutuhkan manusia walau getir dan pedas. Apalagi, manusia adalah makhluk Allah Swt yang tidak lepas dari kesalahan. Sebenamya kritik pada hakikatnya sama dengan nasihat. Tidak perlu pula diingkari bahwa celaan adalah hal yang berbeda dengan kritik. Mencela bukanlah akhlak terpuji walau kadangkala manusia harus mencela orang yang pantas dicela. Pada saat itu, fungsi celaan sarna dengan nasihat.

Mengkritik dan mencela memiliki perbedaan yang jelas. Mengkritik adalah upaya memperbaiki yang keliru, menyempurnakan yang kurang, menguatkan yang lemah, dan membangunkan yang tertidur dengan menunjukkan masalah dan jalan keluamya agar manusia cepat kembali kepada kebenaran. Mengkritik haruslah dilakukan dengan penuh pertimbangan, ilmu, dan akal sehat, serta ketulusan hati. Obyek yang dikritik pun adalah sesuatu yang benar-benar perlu dikritik dan bukan dilontarkan sekadar prasangka, asumsi, atau mencari-cari kesalahan dengan landasan emosi dan rasa benci.

Adapun mencela atau menghujat (apa pun istilahnya) amat bertolak belakang dengan mengkritik. Mencela secara halus (sinis) atau kasar (sarkas) adalah upaya merendahkan, melecehkan, atau meremehkan agar manusia menjauh tanpa memberikan jalan keluar. Landasan mencela adalah nafsu amarah serta tanpa pertimbangan ilmu dan akal sehat. Paling tidak, nafsu amarah telah mengendalikan ilmu dan akal sehat. Obyek yang dicela mungkin benar, mungkin juga salah. Bahkan, boleh jadi kebenaran tertutup cahayanya, lalu dianggap salah. Oleh karena nafsu amarah yang dituruti akan rnembuat gelap mata dan tidak mampu rnemandang secara jemih antara yang benar dan salah.

Tidak diragukan lagi bahwa Ikhwan telah rnendapatkan keduanya; kritik dan celaan. Pada keadaan tertentu, Ikhwan rnenerirna sernua kritikan dan berlapang dada karena Allah Swt rnenyadarkan rnereka dari kekeliruan, Namun pada keadaan lain, Ikhwan rnerasa perlu mernberi tanggapan terhadap celaan yang rnereka terirna lantaran celaan tersebut zalirn dan tidak pada tempatnya.,

Perlu diingat, rneskipun kebajikan yang telah dipersembahkan Ikhwanul Muslimin segunung banyaknya, mereka-seperti jamaah lain-adalah jamaah manusia. Pendiri, pemimpin, petinggi, anggota, dan sirnpatisannya adalah rnanusia biasa yang berpotensi rnelakukan kesalahan. Hanya rnanusia yang selalu dalarn penjagaan Allah Swt-Iah yang senantiasa mampu rnengajak dirinya bersatu dengan kebenaran dan rnenyisihkan kesalahan. Sernentara orang yang selalu dalam penjagaan Allah azza wa Jalla hanya Rasulullah Saw. Ikhwan bukanlah jamaah rnalaikat yang selalu taat dan tidak pemah salah. Bukan pula jamaah setan yang selalu durhaka dan ingkar serta nengajak manusia kepada kedurhakaan.

Sungguh telah datang secara bergelornbang celaan dan tuduhan kepada Ikhwan. Hal yang amat rnengherankan, tuduhan dan celaan itu salin bertolak belakang. Satu pihak rnenuduh Ikhwan terlalu ketat dan konservatif
Namun, pihak lain menuduh Ikhwan longgar dan permissive terhadap semua pembaruan. Tuduhan atau celaan itu saling mementahkan satu sarna lainnya dan rnenernpatkan Ikhwan berada di antara keduanya. Demikianlah kedudukan yang adil, yaitu wasathiyah (pertengahan/rnoderat).

Dalam pandangan kami-wallahu a’lam-hal itu terjadi karena beberapa alasan. Di antaranya:

salah paham terhadap hakikat manhaj dakwah Ikhwan;
tidak paham terhadap hakikat manhaj dakwah lkhwan;
mungkin benar ada kekeliruan di dalarn lkhwan, tetapi para pencelannya tidak punya niat baik dan etika yang bagus untuk meluruskannya;
ikut-ikutan (taklid)terhadap pembesar-pembesar rnereka; atau
ada kedengkian (hiqd) di dalam hati mereka.

Beberapa Contoh Tuduhan dan Jawabannya
Telah berkata Samahatusy Syaikh Imam Kabir Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz-semoga Allah Swt meridhainya, “Harakah Ikhwanul Muslimun telah dikritik para ulama yang mu’tabar. Salah satu alasannya, mereka tidak memperhatikan dakwah tauhid serta memberantas syirk dan bid’ah. Oleh karena itu, wajib bagi Ikhwanul Muslimun untuk mengingkari ibadah-ibadah kepada kuburan. Kebanyakan ahli ilmu mengkritik Ikhwanul Muslimun pada segi itu-tidak punya perhatian terhadap dakwah tauhid, membiarkan kelakuan orang-orang jahil, dan meminta-minta kepada orang yang sudah mati. Mereka pun tidak punya perhatian terhadap sunah atau meneliti hadis dan perkataan salafush shalih dalam hukum-hukum syar’i” 1

Dari perkataan Samahatusy Syaikh itu, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan dulu. Siapakah ulama mu’tabar (diakui) yang Syaikh mulia maksud? Apakah mereka pemah berinteraksi dengan Ikhwanul Muslimun dan tokoh-tokohnya secara baik di masa awal atau sekarang ini atau hanya mendengar dari kabar burung yang dipelintir dan buku-buku yang dikutip secara sepotong-sepotong?

Jika ulama yang dimaksud adalah ulama dunia seperti Syaikh al Muhaddits Sayyid Muhibbudin al Khathib (redaksi harian /khwanul Muslimin), Syaikh Hasanain al Makhluf (mantan mufti Mesir), al Hajj Amin Husaini (mufti Palestina), Muhammad Abdul Hamid (ulama al Azhar), Syaikh Mahmud Syaltut (mantan Syaikh al Azhar), atau Abul A’la al Maududi (seorang ‘alim dari Pakistan dan dipanggil ‘ustad’ oleh Syaikh al Albany)-mereka hidup sezaman dengan al Banna dan masa-masa generasi pertama Ikhwan tentulah tidak akan luput dari perhatian orang-orang ‘alim itu jika benar Ikhwan adalah jamaah yang menyimpang. Tidak ada keterangan dari ulama-ulama itu yang menyebutkan kritik atau celaan seperti yang disebutkan Syaikh bin Bazz. Nyatanya, mereka amat mencintai Ikhwan dan manhaj-nya, bahkan sebagian di antara mereka bergabung bersama Ikhwan atau mengambil manfaat darinya.

Namun, jika ulama mu ‘tabar yang dimaksud adalah pengikut dan murid-murid Syaikh Bin Bazz sendiri dan pengikut Syaikh al Albany-mereka memang ulama, seperti Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i al Yamany, Syaikh Rabi’ bin Hadi Umair al Madkhaly, Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al Madkhaly, Syaikh Farid bin Ahmad Manshur, Syaikh Ali Hasan al Halaby al Atsary, dan Abdul Malik Ramadhan al Jazairy-bukanlah hal yang baru dan mengherankan bagi kami. Mereka memang ulama-ulama yang terkenal amat bersemangat mengkritik jamaah atau tokoh yang tidal sejalan dengan fikrah mereka. Pembahasannya akan kami uraikan secara khusus.

Adapun ucapan Syaikh yang mulia bahwa Ikhwan melupakan dakwan tauhid serta memberantas bid’ah dan syirik kubur, itu tidaklah benar. Lagi pula wacana tauhid bukan hanya seputar bid’ah dan syirk kubur. Ikhlas dalam beramal, menegakkan syariat Islam dalam lirigkup pribadi, masyarakat, dan negara, .tidak meminta pertolongan orang kafir untuk memerangi sesama muslim, atau mengeluarkan fatwa bolehnya meminta pertolongan kepada AS saat Perang Teluk melawan Saddam Husein berkecamuk padahal biar bagaimana pun AS lebih jelas kekafirannya dibandingkam Saddam Hussein-termasuk bagian dari tauhid. Hasan al Banna telah menyebutkan di dalam Ushul isyrin keharusan bagi pengikut/anggota Ikhwan untuk memerangi kemungkaran di kuburan, pengunaan jimat, mantera dan sejenisnya. Hal itu akan kami ulas pada bagiannya tersendiri.

Begitu pula tidak sepenuhnya benar pemyataan bahwa lkhwan melupakan sunah serta tidak meneliti hadis dan atsar salafush shalih. Ikhwan memahami bahwa upaya meneliti hadis dan atsar-atsar salafush shalih bukanlah pekerjaan untuk semua manusia. Hanya ahlinya yang pantas untuk melakukan hal itu. Ikhwan sendiri tidak mendidik anggotanya secara khusus untuk menjadi ulama fiqh atau ulama hadis. Tidak ada gerakan Islam yanng berpikir bahwa semua anggotanya harus menjadi ahli.fiqh dan ahli hadist atau atsar. Namun, Ikhwan tetap memperhatikan haI itu melalui pemimpinnya yang memang punya keahlian di bidang itu. Ada Sayyid Sabiq, Abdul Qadir’ ‘Audah, Abdul Fattah Abu Ghuddah, Abdul Halim Abu Syuqqah, Yusuf al Qaradhawy, dan ulama lainnya. Semuanya adalah tokoh ahli iImu liqh dan hadis yang diakui dunia. Syaikh bin Bazz pemah melontarkan perkataan yang berat ketika ditanya tentang Jamaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimun, “Kedua firqah itu masuk’ ke dalam 72 golongan (yang tersesat). Siapa saja yang menyelisihi akidah Ahlussunnah, ia masuk ke dalam 72 golongan itu.”2

1 Buletin dakwah alFurqan edisi 10/1 Jumadil ula 1423 H, him. 2, kol. 2.
2  Rasulullah Saw memprediksikan perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan dan golongan yang masuk surga hanya satu, yaitu al Jama ‘ah-artinya segala yang aku (Nabi Saw) dan sahabatku ada di atasnya. Adapun 72 golongan lainnya masuk neraka. Hadis itu diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Abu Daud. Imam Hakim men-shahihkannya menurut syarat Imam Muslim dan disepakati Imam adz Dzahabi. Syaikh Albany men-shahih-kan hadis itu, sedangkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengeluarkan hadis itu dalam kitab Shahihain mereka padahal masalahnya penting” Hal itu menunjukkan Imam Syaikhan (Bukhari-Muslim) meragukan kesahihan hadis.hadis itu. Bahkan, Imam Ibnu Wazir menganggapnya batil, tidak benar, dan merupakan rekayasa orang-orang mulht:l (atheis). Ibnu Hazm menilainya sebagai hadis palsu. Adapun Imam Ibnu Taimiyah men-shahihbn hadits itu dan Ibnu Hajar meng-hasan-kannya (Lihat dalam Fiqhul Ikhtilaf, hIm. 50-56 dan Seleksi Hadits-Hadits Shahih tentang Targhib dan Tarhib, hlm. 120. Keduanya karya Yusuf al Qaradhawy).

Ketika ditanya lagi, syaikh itu menegaskan, “Ya, keduanya masuk ke dalam 72 golongan beserta murji’ah dan golongan lainnya. Murji’ah dan khawarij-khusus khawarij menurut sebagian Ahlul ‘ilmi telah keluar dari golongan orang-orang kafir, tetapi mereka masuk dalam keumuman 72 golongan yang sesat.”3 Ucapan itu-jika memang benar ucapannya-sebenamya telah menjadi fatwa yang mengerikan bagi kedua jamaah berupa vonis sesat, bahkan lebih dari itu. Sinyalemen Rasulullah Saw bahwa umat ini akan terpecah menjadi73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu alJama ‘ah, menunjukkan bahwa golongan yang masuk neraka sebanyak 72 golongan. Jadi, ketika syaikh itu menyebutkan bahwa Jamaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimun termasuk 72 golongan tersebut, otomatis kedua jamaah itu termasuk calon penghuni neraka. ltulah pemahaman yang dapat kita tangkap secara sederhana dan mudah. Namun, kami tidak dapat membayangkan jika syaikh itu bermaksud demikian karena ada akibat lain dari ucapan tersebut, yaitu tokoh-tokoh kedua jamaah itu dan pengikut mereka pun termasuk ahli neraka: Hasan al Banna, Sayyid Quthb (yang Syaikh Bin Bazz bela ketika divonis hukuman gantung), Sayyid Sabiq (pengarang Rqhus Sunnah yang terkenal dan bersama Yusuf al Qaradhawy mendapatkan penghargaan King Faishal Award), Abdul Halim Abu Syuqqah (pengarang Tahrirul Mar’ah Li ‘Ahdir Risalah), Yusuf al Qaradhawy yang telah Syaikh Bin Bazz puji, dan banyak lagi. Merekalah pembesar Ikhwan yang jamaahnya dikelompokkan ke dalam 72 golongan ahli neraka! Padahal, mereka segolongan ‘alim yang terdidik dalam madrasah Ikhwanul Muslimun.

Kami mengira- wallahu a’lam-berita yang diperoleh Syaikh Bin Bazz tentang Ikhwan tidak utuh. Mungkin hanya bisikan berita dari kalangan tertentu di sekelilingnya yang memang antipati terhadap Ikhwan. Seandainya beliau mau mengambil manfaat dari berita yang disampaikan Ikhwan langsung-minimal sebagai pengimbang-niscaya pandangan beliau pasti berbeda. Seandainya benar demikian, yaitu terjadi ketidakutuhan dalam pandangannya, sesungguhnya hukum fatwa yang dikeluarkan seorang mufti yang tidak mengetahui perkaranya dengan jelas dan utuh menjadi batal. Demikian kaidah yang disepakati ulama. Sesungguhnya ulama kecintaan kami, Syaikh al ‘Allamah al Muhaddits Muhammad Nashiruddin al Albany-semoga Allah Swt me-ridha-‘inya pemah berkata, “Ada pun mereka (Jamaah Tabligh) tidak mementingkan, dakwah kepada kitab dan sunah sebagai prinsip pokok. Bahkan, mereka menganggap dakwah tersebut hanya akan membawa perpecahan umat. Keadaan mereka persis seperti yang ada pada jamaah Ikhwanul Muslimun. Mereka mengatakan sesungguhnya dakwah mereka tegak di atas kitab dan sunah, tetapi itu hanya ucapan belaka. Mereka tidak mempunyai akidah (shahihah) yang dapat menyatukan mereka sehingga di dalamnya terdapat aliran al maturidy, asy’ary, sufi, dan ada pula yang tidak bermazhab. Hal itu karena dakwah mereka berdiri di atas prinsip “himpun, kumpulkan, dan didik” meskipun pada hakikatnya mereka tidak berpendidikan sarna sekali.(dakwah mereka, penerj.) telah berlalu lebih dari setengah abad lamanya, tetapi tidak ada seorang ‘alim pun muncul dari kalangan mereka.”4  Ucapan Syaikh al Albany yang mengatakan bahwa Ikhwan tidak pemah memunculkan ahli ilmu sebagai hasil dari dakwahnya adalah tidak sesuai dengan kenyataan. Sesungguhnya, ulama-ulama dari Ikhwan sangat banyak-tanpa bermaksud berbangga diri. Apakah Syaikh al Albany menganggap Sayyid Sabiq, Yusuf al Qaradhawy (Syaikh sendiri pemah memujinya), Abdul Halim Abu Syuqqah, Manna’ Khalil Qattan, Abdullah Nashih ‘Ulwan, dan Muhammad al Assai adalah juhala (orang-orang bodoh)?

Syaikh yang mulia Rabi’ bin Hadi-hafizhahullah wa ghafarahullah pemah mencela Ikhwan dengan perkataan, “Sebenamya dakwah Ikhwanul Muslimun didasarkan pada manhaj orang kafir Barat yang dibungkus dengan pakaian Islam.”5

3  Rabi’ bin Hadi al Madkhaly, Fatwa Ulama Seputar Jama’ah Tabligh, hIm. 20-21.
4  Ibid him. 30-31
5 Rabi’ bin Hadi al Madkhaly, Kekeliruan Pemikiran Sayyid Quthb, hlm. 177. 6 Ibid. him. 176-177. Uhat catatan kaki no. 39.

Ia mengomentari dakwah Ikhwan di berbagai negara dengan sinis, “Sekarang muncul berhala-berhala yang lebih zalim dan lebih sewenang-wenang yang tidak ada tandingannya di Mesir, Irak, Syam, Libya, Yaman, Sudan, dan negeri lain. ltu semua merupakan hasil dari seruan Ikhwan. Oengan hasil yang mereka peroleh sekarang, mereka masih menuntut lebih hingga akhimya mereka akan membunuh Islam dengan Islam itu sendiri.

Masih banyak lagi celaan terhadap Ikhwan darinya. Kami anggap hal itu sebagai celaan dan bukan kritikan karena kritikan memiliki kaidah, sedangkan ruh yang ada di dalam ucapan itu adalah ruh amarah. Sungguh, para berhala yang dimaksud-yaitu para thawaghit (tiranik)-lebih cocok ditujukan kepada orang-orang yang memberangus Ikhwan di negeri-negeri mereka dan itu sudah amat masyhur. Bagaimana mungkin Syaikh Rabi’ menganggap para tiranik itu dampak dari keberadaan dakwah Ikhwan? Lebih baik seorang yang ‘alim dalam iImu agama membela saudaranya yang dizalimi dan mencegah para pelaku kezaliman dari perbuatan zalim dan bukan berbuat zalim pula dengan tidak menghargai, bahkan mencela upaya dakwah saudaranya.Lebih baik lagi jika Rabi’ atau siapa pun bersikap adil dan seimbang dalam menilai seseorang atau suatu jamaah. Imam Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin telah memberikan koreksi atas kesalahan Syaikhul Islam Ismail al Harawi dalam buku Manazil Sairin. Namun, Ibnul Qayyim tetap memberikan pujian pada kedudukan Syaikhul Islam alHarawi dan manfaat yang didapat dari karyanya. Ibnu Taimiyah mengkritik Imam al Ghazaly lantaran karyanya al Ihya’ amat banyak disusupi syubhat dalam masalah akidah dan perkataan para filsuf. Namun, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa manfaat dari buku itu lebih banyak dibandingkan jika buku itu ditolak. Demikianlah sikap adil yang kami maksud, yaitu tidak melupakan kebaikan yang telah ada pada seseorang walau orang tersebut berbuat kesalahan. Adakah Syaikh Rabi’ mau melihat kebaikan yang ada pada Ikhwan? Jika masih menganggap “Kebaikan ahIi bid’ah jangan dipandang” , sungguh itu adalah ucapan yang benar, tetapi tidak pada tempatnya. Ikhwan bukanlah ahIi bid’ah. Mereka hanyalah manusia yang ber-ijtihad seperti Anda ber-ijtihad Lain halnya jika Syaikh Rabi’ yakin dengan pendiriannya bahwa Ikhwan dan para tokohnya adalah ahli bid’ah sehingga sia-sialah semua nasihat ini.

Seandainya manusia mau menuangkan jasa-jasa Ikhwan dalam bentuk tuIisan, niscaya dibutuhkan berjilid-jilid buku. Berkata Syaikh Manna’ Khalil al Qattan,7  “Gerakan Ikhwanul Muslimun yang didirikan asy Syahid Hasan al Banna dipandang sebagai gerakan keislaman terbesar masa kini tanpa diragukan lagi. Tidak seorang pun dari lawan-Iawannya dapat mengingkari jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran di seluruh dunia Islam.

Bersama gerakan ini, segenap potensi pemuda Islam ditumpahkan untuk berkhidmat kepada Islam, menjunjung syariatnya, meninggikan kalimat-Nya, membangun kejayaannya, dan mengembalikan kekuasaannya. Apapun yang dikatakan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap jamaah ini, pengaruh intelektualitasnya tidak dapat diingkari siapa pun.”8

7 Befiau adalah ulama temama, mantan Ketua Mahkamah Tinggi di Riyadh, staf pengajar di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh. Ia pun seorang tokoh Ikhwanul Muslimun.
8 Manna Khalil al Qattan, Studi Dmu-Dmu al Qur’an, hIm. 506.

Kepada para pencela Ikhwan, Yusuf alQaradhawy-hafizhahullah berkata, “Dalam sejarah modem, tidak dikenal kelompok yang dizalimi dan didera tuduhan seperti yang dialami kelompok Ikhwan. Mereka dizalimi seperti kezaliman yang dialami Husein, cucu Nabi Saw. Hal yang mengherankan bagi pengamat perjalanan Ikhwan adalah mereka dituduh dengan tuduhan yang kontradiktif pada saat yang sarna. Satu pihak menuduhnya dengan suatu tuduhan, sedangkan pihak lain menuduh dengan tuduhan kebalikannya. Dengan sendirinya tuduhan-tuduhan itu menjadi lemah dan tidak memiliki makna. Di sana terdapat kelompok yang menamakan dirinya kelompok progresif dan menuduh Al Ikhwan sebagai gerakan reaksioner dan jumud, kembali ke belakang, dan konservatif. Bahkan, di antara penulis muslim pun ada yang memandang Ikhwan dengan sinis sebagai gerakan set back setelah masa Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh yang. mempunyai kecenderungan konservatif dan kaku.

Pada saat yang bersamaan, ada segolongan pengikut paham agama yang melontarkan kecaman bahwa Ikhwan terlalu longgar dalam memahami agama dan mengikuti tuntutan zaman. Sebagian mereka mengecam karena Ikhwan membuka lebar-lebar pintu ijtihad dan keluar dari mengikuti mazhab serta memegang sebagian besar pendapat baru9  Di sana ada pula. kelompok sufi yang memandang Ikhwan adalah penjelmaan paham Wahabi dan pengikut Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim (AI Imamain). Dengan kata lain, Ikhwan dipandang sebagai gerakan salafiyun yang menjadi musuh utama bagi tasawuf dan penganutnya. Sementara itu, ada kelompok yang menamakan diri mereka salafiyun dan memandang Ikhwan sebagai kelompok thariqat sufi dan menggolongkannya sebagai kelompok Quburi (penyembah kubur, peny) Hal itu, didasari bahwa al Banna tumbuh dalam suasana yang sarat nuansa sufi di samping pandangannya bahwa tawassul masuk dalam persoalan khilafiyah-perbedaan pendapat dalam tata cara berdoa dan bukan masalah akidah.”10 Terakhir beliau berkata, Itulah perlakuan yang dialami umat poros tengah atau kelompok tengah dan pemikiran poros tengah yang senantiasa dicela dari dua sisi yanb berlawanan: pihak yang keras dan pihak yang lunak

9 Sebaliknya, kalangan salaliyun progresif menuduh Ikhwan menutup pintu ijtihad Liha al Furqan edisi 1011 Jumadil VIa 1423 HI hIm. 2, kol. 2..
10 Yusuf al Qaradhawy, 70 T ahun AI Ikhwan AI Muslimun, hIm. 205-206.

Teguran Syaikh Bakr Abu Zaid terhadap Syaikh Robi’ Al-Madkhali

Teguran Syaikh Bakr Abu Zaid terhadap Syaikh Robi’ Al-Madkhali

(Dikutip secara ringkas dari http://www.islamgold.com/view.php?gid=7&rid=94 dengan sedikit penyesuaian redaksi. Bagi yang tidak puas bisa langsung mengklik situs yang saya sebutkan)

Setelah menulis buku yang penuh tuduhan dan caci maki terhadap Asy-Syahid Sayyid Quthub yang berjudul, “Adhwa` Islamiyyah ‘Ala ‘Aqidati Sayyid Quthb wa Fikrih,” Syaikh Robi’ bin Hadi bin Umair Al-Madkholi meminta Syaikh DR. Bakr bin Abdillah Abu Zaid (anggota Hay`ah Kibar Al-‘Ulama di Saudi dan anggota Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta`) untuk memberikan kata pengantar bagi buku beliau tersebut. Namun, di luar dugaan, sebagai seorang ulama besar yang bijak dan berpengetahuan luas, Syaikh Bakr Abu Zaid dengan halus menolak memberikan kata pengantarnya.

Lalu, Syaikh Bakr pun menulis surat atau risalah kecil yang beliau beri judul “Al-Khithab Adz-Dzahabi” (surat emas) yang beliau tujukan kepada Syaikh Robi’. Di bawah ini adalah sebagian di antara yang beliau katakan dalam surat emas tersebut :

– Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Dan di antara daftar isi tertulis ‘Perkataan Sayyid Quthub tentang Khalqul Qur`an dan Bahwa Kalam Allah adalah Ibarat dari Suatu Kehendak’… Akan tetapi, ketika saya membaca halaman-halaman yang disebutkan, saya tidak mendapatkan satu huruf pun yang di dalamnya menunjukkan bahwa Sayyid Quthub rahimahullahu Ta’ala mengatakan Al-Qur`an itu makhluk. Kenapa begitu mudahnya Anda melemparkan tuduhan takfir ini?”

– Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Sungguh bergidik bulu kuduk saya ketika saya membaca daftar isi buku Anda, dimana tertera “Sayyid Quthub Membolehkan Orang Lain Selain Allah Untuk Membuat Syari’at.” Maka, saya pun segera membaca semua perkataan Sayyid dalam bukunya “Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyah,” dimana engkau menukil perkataannya; namun ternyata apa yang dikatakannya tidak layak untuk diberi judul yang sensasional seperti yang engkau lakukan. Taruhlah apa yang dikatakannya terdapat ibarat yang masih samar maknanya, tapi bagaimana engkau bisa mengubahnya menjadi sesuatu yang mengafirkan? Engkau telah melenyapkan semua kebaikan yang telah dibangun oleh Sayyid Rahimahullah sepanjang hidupnya dan juga segala yang ditulis oleh pena-nya dalam rangka dakwah kepada Allah Ta’ala dalam masalah hukum dan syariat, dimana beliau menolak undang-undang buatan manusia serta berdiri tegak menentang kemungkaran ini.”

– Syaikh Bakr Abu Zaid berkata, “Di antara judul dalam daftar isi buku Anda juga tertulis, “Perkataan Sayyid tentang Kemakhlukan Al-Qur`an dan Bahwasanya Kalam Allah Adalah Ibarat dari Kehendak.” Akan tetapi, setelah saya baca halaman demi halaman yang disebutkan, ternyata saya tidak menemukan satu huruf pun yang menegaskan bahwa Sayyid Quthub Rahimahullah Ta’ala telah mengucapkan perkataan ini. Bagaimana engkau bisa semudah ini melemparkan tuduhan kafir kepada orang lain?!”

– Syaikh Bakr Abu Zaid juga berkata, “Dari segi bahasa yang digunakan, jika dibandingkan antara gaya bahasa buku Anda dan gaya bahasa (uslub) yang dipakai Sayyid Quthub Rahimahullah, maka ada ketimpangan di sana. Jika dilihat dari sisi Anda, maka gaya bahasa Anda seperti gaya bahasa anak i’dadi (persiapan bahasa pra sekolah) yang tidak sebanding dengan gaya bahasa seorang mahasiswa (maksudnya’ Sayyid Quthub) yang telah mendapatkan penghargaan tinggi tingkat internasional. Jadi, dalam hal ini, seharusnya ada kesepadanan kemampuan dalam ilmu sastra, kemampuan dalam balaghah, ilmu bayan, dan keindahan pemaparan dalam tulisan. Kalau tidak (maksudnya kalau tidak seimbang antara kemampuan bahasa Robi’ Al-Madkhali dan Sayyid Quthb), maka hancurkan saja pena Anda.

Di akhir surat, Syaikh DR. Bakr Abdullah Abu Zaid bepesan kepada Robi’ Al-Madkholi, “Dan pada penutup surat ini, sesungguhnya saya menasehatkan kepada Saudaraku yang terhormat fillah, agar mencabut percetakan buku “Adhwa` Islamiyyah.” Sesungguhnya, buku ini tidak boleh diterbitkan dan diedarkan, karena di dalamnya terdapat pelecehan yang amat berat dan pengaruh yang sangat besar terhadap para pemuda umat ini untuk terjerumus ke dalam perbuatan mencela ulama, mendiskreditkan ulama, meremehkan kemampuan mereka, dan melalaikan segala keutamaan mereka. Dan, maafkanlah saya –semoga Allah memberi berkah kepada Anda– jika saya agak keras dalam menggunakan istilah. Hal ini tak lain karena saya melihat pelecehan Anda yang sangat berat, dan karena rasa sayang saya kepada Anda, juga dikarenakan keinginan Anda yang begitu menggebu untuk mengetahui apa pendapat saya tentang buku Anda tersebut… Maka, pena saya pun menuliskannya sebagaimana yang telah lalu. Semoga Allah memberikan kebaikan kepada apa yang telah saya tulis dan kepada semuanya.” (Amin).

Kesaksian Ulama Dunia Thd al Banna dan Sayyid Qutb

Kesaksian Ulama Dunia Thd al Banna & Sayyid Qutb
« pada: 18 September 2006, 09:29:36 pm »
http://myquran.org/forum/index.php/topic,7677.0.html

(Farid Nu’man, SS. Dari majalah Tasqif Edisi 17 dan 18 aug-sep 06)

Mereka sering mengatakan ‘Para ulama telah memperingatkan manusia agar hati-hati atas kesesatan tokoh tokoh Ikhwan.’ Pertanyaannya, ulama mana yang dimaksud? Kita dapatkan justru Syaikh bin Bazz (mantan Mufti Kerajaan Saudi Arabia dan ketua Hai’ah Kibaril Ulama), Syaikh al Albany, Syaikh Abdullah bin al Jibrin, Syaikh Shalih al Luhaidan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Asy Syaikh (saat ini menjadi ketua Hai’ah Kibaril Ulama menggantikan Syaikh bin Bazz), Syaikh Abdullah bin Hasan al Qu’ud, mereka memberikan kesaksian positif terhadap tokoh-tokoh Ikhwan, sebagaimana yang akan kami beberkan. Mereka -kecuali Syaikh al Albany- adalah Para ulama besar yang berada dalam jajaran Hai’ah Kibaril Ulama (Organisasi Ulama Besar) Kerajaan Saudi Arabia, yang telah menjadi rujukan mapan kaum salafiyyin.

Biasanya jika di luar kelompok mereka (salafy) mengutip pendapat ulama- ulama salafy masa kini, mereka akan mengatakan, “Ahli bid’ah biasanya mengutip perkataan ulama Ahlus Sunnah yang cocok dengan hawa nafsunya saja.” Ini adalah ucapan sinis dan fanatis buta. Siapakah yang melarang-larang manusia mengutip perkataan ulama yang objektif dan jujur? Sayangnya mereka juga melakukan hal yang sama; yakni hanya mengambil ucapan ulama yang sejalan dengan pemikiran mereka saja. Jangan harap anda menemukan mereka mengutip ucapan ulama lain, seperti Al Maududi, Al Banna, Al Qaradhawy, keluarga Quthb, Salman al Audah, Aidh al Qarny, kecuali untuk dicari dan dikoleksi kesalahannya. Allahul musta’an!

Perlu ditegaskan, kata ‘mereka’ yang kami maksud bukanlah para ulama salafy rabbany yang amat kita cintai dan muliakan, ‘mereka’ di sini adalah orang yang mengklaim dirinya paling Ahli Sunnah, paling salaf, paling benar, paling cerdas dalam istid/al (pengambilan dalil), dan paling .. paling …. Menurut pengakuannya, mereka adalah penuntut ilmu, bukan ulama. Mereka’ pun tidak mewakili semua, sebab masih banyak di antara mereka yang moderat, rendah hati, dan mau berdialog. Seharusnya penuntut ilmu harus menjadi Thalibul Ilmi al Mu’addib (penuntut ilmu yang beradab).

Kembali kepada permaslahan, siapakah ulama yang mereka maksud?

Apakah mereka para mufti ternama yang diakui dunia? Apakah Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkhaly hafizhahullah yang dimaksud? Darinya telah banyak karya untuk meyerang Ikhwan, khususnya Sayyid Quthb. Tentang Syaikh ini, berkatalah Syaikh Abu Bashir at Thurthusy, “Adapun Rabi’ bin Nadi al Madkhaly, saya tidak melihatnya dalam barisan para ulama dikarenakan lisannya yang sering kasar terhadap saudaranya …” ( Abduh Zulfidar Akaha, Siapa Teoris? Siapa Khawarij? , hal. 323. Catatan kaki no. 625, bantahan terhadap buku Mereka Adalah Teroris! ) Syaikh al Qaradhawy sendiri menyebut Syaikh Rabi’ sebagai Salafy Jamiyun (beringas)..

Ataukah Syaikh Abdul Malik Ramadhan al Jazairi, yang dalam bukunya Madarikun Nazhar banyak menyerang Ikhwan, FIS, Muhammad Quthb, Salman al Audah, Safar al Hawaly, Aidh al Qrny, Abdurrahman Abdul Khaliq, dan lain-lain? Syaikh Abu Bashir at Thurthusy dalam salah satu fatwanya menyebutkan bahwa Syaikh Abdul Malik Ramadhan al Jazairy adalah orang yang tidak pernah terdengar namanya dalam jajaran ulama. (Ibid. hal. 62. catatan kaki. no. 99)

Komentar para ulama yang sezaman dengan tokoh-tokoh Ikhwan tersebut tentu lebih layak diikuti dan dipercaya, dibanding komentar orang yang datang setelah zamannya dan tidak pernah berinteraksi dengan mereka. Komentar penulis buku Mereka Adalah Teroris! Yaitu Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh hafizhahullah tentang sesatnya tokoh-tokoh Ikhwan dengan menyebut mereka takfiri, khawarij, teroris, anjing¬anjing neraka, ruwaibidhah (orang-orang dungu), mu’tazilah, bocah-bocah ingusan, pemikir linglung, dan lain-lain, adalah tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Ciri khas buku tersebut adalah mencaci maki dahulu membahas kemudian. Buku tersebut disusun untuk membantah buku Imam Samudera, Aku Melawan Teroris. Namun sayangnya, Imam Samudera hanyalah batu loncatan, sebagian besar muatan buku tersebut berisi serangan terhadap semua gerakan Islam yang tidak sejalan dengan Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh dan kelompoknya, lebih khusus serangan untuk Ikhwan dan tokoh-tokohnya. Padahal mereka amat moderat, dan jelas-jelas tidak sejalan dengan Imam Samudera yang radikal. Ajaib memang, di satu sisi Ikhwan dituduh terlalu moderat, di sisi lain dituduh sebagai biang terorisme dunia. Apakag ada orang moderat yang radikal?

Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini bukan barang baru, dan sudah kami bantah dalam buku Al Ikhwan Al Muslimun Anugerah Allah Yang Terzalimi edisi lengkap, (2004, Pustaka Nauka- Depok) jauh sebelum terbitnya buku Mereka Adalah Teroris! Ustadz Luqman bin Muhammab Ba’abduh adalah seorang keturunan Arab (Yaman) yang lahir di Bondowoso, Jawa Timur, pada 13 Mei 1971 M (Ibid, hal. 31) Beliau tujuh tahun lebih tua dibanding kami. Dari sini bisa diketahui, ia dilahirkan jauh setelah syahidnya Sayyid Quthb (w.1966 M), dan syahidnya Hasan al Banna (w.1949 M), dan usianya baru 18 tahun ketika syahidnya Abdullah ‘Azzam (w.1989 M), dan masih 16 tahun ketika Syaikh Ahmad Yasin mendirikan HAMAS (berdiri 1987 M), baru dua tahun ketika Yusuf al Qaradhawy meraih gelar doktornya tahun 1973 M dengan disertasi Fikih Zakatnya, artinya Ustadz ini terlalu muda dan berani, bahkan sangat-sangat berani, untuk ‘menghabisi’ para tokoh-tokoh tersebut. Memang, hanya orang besar yang bisa menghormati orang besar. Adapun orang berlagak besar, biasanya melihat orang lain dengan kerendahan.

Dari Ubadah bin Shamit, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam besabda:

“Bukan dari umatku orang yang tidak menghormati orang besar kami dan tidak menyayangi orang kecil kami dan tidak mengetahui (hak) orang alim kami.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan, Thabarani dan Hakim, tatapi dalam riwayatnya tertulis: “bukan dari kami”. Syaikh al Albany menshahihkannya dalam Shahih Targhib wa Tarhib, 1/116)

Ada sebuah syair: Wahai orang yang ingin menanduk gunung tinggi untuk menundukannya Sayangilah kepala(mu), dan bukan gunung itu

Imam Adz Dzahabi rahimahullah berkata: Ingin terbang, tidak memiliki bulu burung, Ingin memanduk kambing hutan, tidak memiliki tanduk.

Kali ini, kami akan paparkan kesaksian para ulama sunnah masa kini tentang tokoh-tokoh Ikhwan tertuduh tersebut. Anda akan menemukan perbedaan mencolok ulama sunnah tersebut dengan kalangan yang justru mengaku mengikuti mereka. Kesaksian ini kami ambil dari buku Al Ikhwan Al Muslimun Anugerah Allah yang Terzalimi edisi lengkap dan juga buku yang sangat bagus, karya Al Ustadz Abduh Zulfidar Akaha, Lc -hafizhahullah- yang berjudul Siapa Teroris? Siapa Khawarij? Penerbit Pustaka Al Kautsar, cetakan pertama, Juni 2006. Sebuah buku yang berhasil membuka banyak sekali kesalahan, kedustaan terhadap ulama, dan penyimpangan pemikiran (yang justru mudah mengkafirkan orang lain), dari Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh -hafizhahullah- yang tertera dalam buku Mereka Adalah Teroris! Maaf, istilah `kedustaan’ bukanlah dari kami tetapi dari Ustadz Abduh Zulfidar sendiri terhadap Ustadz Luqman, sebagaimana tertera dalam Catatan Ketujuh (hal. 137 – 159). Kami sangat menganjurkan (tanpa berniat promosi) bagi pembaca setia Tatsqif untuk segera membaca dan menelaah baik buku tersebut. Selain dari dua buku tersebut kami juga memaparkannya dari sumber¬sumber lain.

Kesaksian Ulama Terhadap Imam Hasan al Banna -rahimahullah

1.Syaikh al Fadhil al ‘Allamah Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin -hafizhahullah

Ia adalah anggota Hai’ah Kibaril Ulama Arab Saudi yang tak diragukan kesalafiannya. Ada orang yang bertanya kepada Syaikh, “Saya memohon kepada Anda, wahai Syaikh, maaf, sesungguhnya ada sebagian pemuda yang membid’a bid’ahkan Sayyid Quthb dan mereka melarang membaca buku-buku karya beliau. Dan, mereka juga mengatakan hal yg sama tentang Hasan al Banna. Mereka pun mengatakan sebagian ulama sebagai khawarij. Hujjah mereka adalah penjelas kesalahan-kesalahan ulama tersebut kepada manusia. Padahal mereka sekarang masih menuntut ilmu. Saya memohon jawab dari Anda demi menghilangkan keraguan ini pada kami, sehingga hal ini tidak menimpa banyak orang.” Syaikh berkata -setelah menyebut beberapa dalil-, “Saya kataka sesungguhnya Sayyid Quthb dan Hasar Banna adalah termasuk ulama kaum muslimin dan tokoh da’wah Islam. Melalui da’wah mereka berdua, Allah telah memberi hidayah dan manfaat kepada ribuan manusia. Partisipasi da’wah mereka berdua tidak mungkin diingkari. Itu sebabnya Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengajukan permohonan dengan nada lemah lembut kepada Presiden Mesir saat itu, Jamal Abdul Naser -semoga Allah membalas kejahatannya dengan balasan yang setimpal- agar menarik keputusan hukun gantung bagi Sayyid Quthb meski akhirnya permohonan itu ditolak.

Setelah mereka berdua (Hasar Banna dan Sayyid Quthb) dibunuh keduanya selalu disandangkan dengan gelar Asy Syahid karena mereka dibunuh dalam keadaan terzalimi dan terania. Penyandangan gelar tersebut diakui seluruh lapisan masyarakat dan tersebar luas lewat media massa dan buku-buku tanpa protes dan penolakan. Buku mereka berdua diterima para ulama dan Allah Subhana. wa Ta’ala memberikan manfaat melalui da’wah mereka kepada hamba-hambaNya serta tidak ada seorang pun yang melemparkan tuduhan kepada mereka berdua selama lebih dari 20 tahun. Jika mereka berdua melakukan kesalahan, Imam Nawawi, Imam Suyuthi, Imam Ibnul Jauzy, Imam Ibnu ‘Athiyah, Imam al Khathaby, Imam al Qasthalany, dan Imam lainnya pernah melakukan kesalahan.” Sampai di sini dari Syaikh bin al Jibrin. (Al Ikhwan Al Muslimun Anugerah Allah Yang Terzalimi, hal. 218-219, edisi lengkap. Lihat pula, Siapa Teroris? Siapa Khawarij? Hal. 317- 319)

2. Kesaksian Syaikh Manna’ Khalil al Qaththan -rahimahullah (w. 1999 M/ 1420H).

Ulama terkenal, pakar Tafsir dan Hadits. Mantan Ketua Mahkamah Tinggi di Riyadh dan dosen paska sarjana di Universitas Muhammad bin Su’ud, Saudi Arabia. Ia berkata, “Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Asy Syahid Hasan al Banna dipandang sebagai gerakan keislaman terbesar masa kini tanpa diragukan. Tidak seorang pun dari lawan- lawannya dapat mengingkari jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran di seluruh dunia Islam. Maka dengan gerakan ini ditumpahkan segala potensi pemuda Islam untuk berkhidmat kepada Islam, menjunjung syariatnya, meninggikan kalimahnya, membangun kejayaannya, dan mengembalikan kekuasaannya. Apa pun yang dikatakan mengenai peristiwa¬peristiwa yang terjadi atas jamaah ini namun pengaruh intelektualitasnya tidak dapat diingkari oleh siapa pun juga.” (Istilah Asy Syahid asli dari Syaikh Manna’ sendiri. Lihat Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an, hal. 506. Litera AntarNusa. Lihat juga Siapa Teroris? Siapa Khwarij?, hal. 316-317)

3. Kesaksian Mufti Besar Palestina Syaikh Hajj Muhammad Amin al Husaini -rahimahullah.

Ia berkata, “Sesungguhnya, sifat yang sangat menonjol pada diri AI Banna adalah Ikhlas yang mendalam, otak yang cemerlang, dan kemauan yang keras. Semua itu diperindah dengan kemauan yang kuat.” (Badr Abdurrazzaq al Mash, Manhaj Da’wah Hasan al Banna, hal. 89). Ia juga berkata, “Asy Syahid Hasan al Banna dan para pengikutnya telah memberi sumbangan besar bagi Palestina. Mereka mempertahankannya dengan berjuang keras dan cita-cita mulia. Semuanya merupakan karya nyata dan kebanggaan yang ditulis dalam sejarah jihad dengan huruf yang terbuat dari cahaya.” (Istilah Asy Syahid adalah asli dari Syaikh Amin al Husaini. Ibid, hal. 141-142)

4. Kesaksian mantan Mufti Mesir, Syaikh Hasanain Makhluf rahimahullah.

Ia berkata, “Syaikh Hasan al Banna semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menempatkannya bersama para shalihin- adalah salah seorang tokoh Islam abad ini. Bahkan ia merupakan pelopor jihad di jalan Allah dengan jihad yang sesungguhnya. Beliau berdakwah dengan menempuh manhaj yang benar, meniti jalan yang terang yang diterjemahkannya dari Al Qur’an, Sunnah Nabi, dan ruh tasyri’ Islam. Beliau melaksanakan semua itu dengan penuh hikmah, hati-hati, dan sabar, dan ‘azzam yang kuat sehingga da’wah islam menyebar ke seluruh penjuru Mesir dan negeri-negeri Islam serta banyak orang bergabung di bawah bendera da’wahnya.” (Ibid, hal. 91)

5. Kesaksian Da’i terkenal, alim rabbani, al ‘Allamah Abul Hasan Ali al Hasani an Nadwi -rahimahullah.

Ia berkata dalam pengantar buku Mudzakkirat Da’wah wa Da’iyah-nya Hasan al Banna , “Pengarang buku ini termasuk di antara pribadi-pribadi yang kami katakan memang sengaja dipersiapkan qudrah ilahiyah (kekuasaan Allah), dibentuk tarbiyah rabbaniyah, kemudian dimunculkan pada waktu dan tempat yang ditentukan.

Setiap orang yang membaca buku ini dengan dada bersih, sikap obyektif, jauh dari sikap fanatik, dan keras kepala pasti yakin bahwa pengarangnya adalah seorang yang memang dipersiapkan untuk dihibahkan (bagi umat manusia) yang bukan hanya tiba dan muncul begitu saja. Ia bukan sekadar produk sebuah lingkungan atau sekolah; bukan sekadar produk sebuah upaya keras, dan bukan produk dari sebuah percobaan. Ia merupakan salah satu produk dari taufik dan hikmah ilahiyah yang menaruh perhatian besar terhadap agama dan umat ini.” (Hasan al Banna, Memoar Hasan al Banna untuk Da’wah dan Para Da’inya, kata pengantar)

Sebenarnya masih banyak pujian ulama dunia untuknya. Hal itu, merupakan kebiasaan para ulama sejak dahulu; seorang ulama memberikan pujian (sekaligus kritik) terhadap ulama lainnya. Selain nama-nama di atas masih banyak tokoh yang memberikan kesaksian positif seperti Sayyid Quthb, Muhammad al Ghazaly, Muhammad al Hamid, Abu Zahrah, Musthafa al Maraghi. Mahmud Syaltut, Muhibuddin al Khathib, Yusuf al Qaradhawy, Said Ramadhan al Buthy, Said Hawwa, Abdus Salam Yasin, Bahi al Khuli, KH. Agus Salim, Muhammad Natsir, dan lain-lain. Hanya satu yang kami minta dari Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh hafizhahullah; tolong sodorkan satu nama saja dari jajaran ulama yang diakui dunia-(ingat! bukan diakui oleh kelompoknya saja)- pada masa Hasan al Banna masih hidup, baik yang berinteraksi dengannya atau tidak, yang memberikan tuduhan dan caracter asasination (pembunuhan karakter) terhadap dirinya; dengan menyebutnya sesat, khawarij, dan sejumlah istilah mengerikan yang biasa Anda gunakan itu. “Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: ‘Tunjukanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” (QS. Al Baqarah: 111)
Sayyid Quthb

Sayyid Quthb -rahimahullah- dianggap tokoh kedua Ikhwan ‘ setelah Imam Al Banna, bahkan disebut sebagai ideolognya. Padahal beliau tidak pernah bertemu dengan Imam Al Banna secara langsung, hanya berinteraksi melalui risalah- risalahnya. Bahkan ia bergabung dengan Ikhwan termasuk ‘belakangan’ yaitu tahun 50-an, berarti beberapa tahun setelah wafatnya Imam Al Banna. Namun demikian, pengaruhnya begitu besar bagi Ikhwan, bahkan bagi kebanyakan aktivis pergerakan Islam dunia.

Di sini akan dipaparkan kesaksian positif para ulama dunia kepadanya, di tengah fitnah terorisme yang diarahkan ke Islam oleh barat, namun justru diaminkan oleh segelintir da’i Islam yang juga ikut menuduh aktifis Islam dan ulamanya ,sebagai teroris, termasuk Sayyid Quthb -rahmatullah ‘alaih. Bahkan begitu tega mereka katakan bahwa Sayyid Quthb merupakan investor dan kontributor terbesar secara fikrah, atas berbagai aksi kekerasan atas nama Islam pada hari ini.

Berikut ini paparan para Ulama yang memberikan kesaksian positif tersebut, dan pembaca akan dapatkan betapa jauh berbeda antara para ulama ini dengan pandangan sinis dan skeptis dari kalangan bukan ulama. Sehingga layak kita bertanya, ulama mana yang diikutinya?

1.Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Jibrin -rahimahullah.

Anggota Hai’ah Kibar al Ulama di Saudi Arabia. Silahkan lihat kesaksian dan pembelaan beliau terhadap Sayyid Quthb dan Hasan al Banna dalam rubrik Tsaqafah edisi 17, atau lihat kitab Al Ikhwan Al Muslimun Kubra Al Harakat Al Islamiyah Syubhat wa,Rudud karya Al Ustadz Dr. Taufiq al Wa’iy,hal. 515-516. Cet.1, 2001M/1421H. Maktabah Al Manar Al Islamiyah, Kuwait.

2.Syaikh Bakr Abu Zaid -hafizhahullah.

Juga anggota Hai’ah Kibar al Ulama. Ia telah membela Sayyid Quthb -rahimahullah- dari serangan Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkhaly. Ia mengirim surat kepada Syaikh Rabi’ sebagai nasehat untuknya. Silakan lihat surat tersebut – sangat panjang- yang sebagiannya telah kami terjemahkan dari kitab berjudul Sayyid Quthb karya Shalah Abdul Fattah al Khalidi, hal. 593-600, penerbit Darul Qalam, Damaskus, yang kami lampirkan dalam buku Al Ikhwan Al Muslimun Anugerah Allah yang Terzalimi, hal. 411-418 (edisi lengkap). Lihat juga Al Ikhwan Al Muslimun Kubra Al Harakat Al Islamiyah Syubaht wa Rudud, hal. 508- 514.

3.Syaikh Abdullah bin Al Hasan al Qu’ud -rahimahullah.

Seorang ulama Saudi Arabia yang juga menjadi rujukan kaum Salafiyyin. Syaikh Ibnu Qu’ud telah menasehati Syaikh Rabi’ bin Hadi al Madkhali.

Ia berkata, “Telah membawa berita kepadaku lebih dari seorang, tentang perkataanmu di suatu pertemuan baik-baik -semoga demikian adanya- bahwa engkau mengatakan buku Ma’alim fi Ath Thariq adalah buku terlaknat. Subhanallah!! Sebuah buku yang dibayar mahal oleh penulisnya (yakni Sayyiq Quthb) dengan mati di jalan Allah karena menentang penguasa komunis Jamal Abdul Nashir, sebagaimana diketahui oleh orang-orang pada masa itu. Padahal buku tersebut telah diedarkan oleh banyak pihak di Kerajaan Saudi ini selama bertahun¬tahun, di mana mereka adalah orang-orang berilmu dan berdakwah kepada Allah. Bahkan, banyak di antara mereka adalah para syaikh dari syaikh-syaikhmu. Dan, tidak ada seorang pun di antara mereka mengatakan seperti yang engkau katakan.

Akan tetapi, engkau ini -wallahu a’lam- tidak mau memahami lebih mendalam apa yang engkau bicarakan sebelum marah, terutama untuk tema-tema semacam: Jail Qur’ani Farid (Satu-satunya Generasi Da’wah), Jihad, Laa Ilaaha Illallah manhaj kehidupan, Jinsiyyatu Al Muslim Aqidatuhu (Warga negara/Identitas seorang Muslim adalah Aqidahnya), Isti’la Al Iman (Kesombongan/ Ketinggian Iman), Hadza Huwa Ath Tharid (Inilah Dia Jalan -yang benar), …. Dan lain-lain dimana maknanya secara keseluruhan adalah keberagamaanmu kepada Allah? Bagaimana engkau nanti jika berdiri di hadapan Allah ketika orang ini (Sayyid Quthb) mendebatmu? Padahal, orang ini telah bertahun-tahun lamanya secara berturut¬turut disifati oleh media massa Saudi sebagai syahidul Islam?” (Abduh Zlfidar Akaha, Siapa Teroris? Siapa Khawarij?, hal. 325-326)

4.Syaikh al ‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh -hafizhahullah.

Mufti Kerajaan Saudi Arabia saat ini, pemgganti Syaikh bin Baz. Syaikh ini mengkritik balik orang-orang yang mengkritik Sayyid Quthb.

Beliau berkata, “Kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an adalah kitab yang bermanfaat. Penulisnya menuliskannya agar Al Qur’an ini dijadikan sebagai undang-undang kehidupan. Kitab ini bukanlah tafsir dalam arti kata harfiyah, tetapi penulisnya banyak menampilkan ayat-ayat Al Qur’an yang dibutuhkan oleh seorang muslim dalam hidupnya … Di sana ada orang yang mengkritik sebagian istikah yang terdapat dalam kitab ini. Namun, sesungguhnya hal-hal yang dianggap kesalahan ini adalah dikarenakan indahnya perkataan Sayyid Quthb dan tingginya gaya bahasa yang beliau pergunakan di atas gaya bahasa pembaca. Inilah sebetulnya yang tidak dipahami oleh sebagian orang yang mengkritiknya. Kalau saja mereka mau menyelaminya lebih dalam dan mengulangi bacaannya, sungguh akan jelas bagi mereka kesalahan mereka, dan kebenaran Sayyid Quthb.” (Ibid, hal. 326)

Ucapan Syaikh ini mengingatkan kami kepada Andi Abu Thalib al Atsary (nama aslinya Andi Bangkit), penulis Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwahul Muslimin, Penerbit Darul Qalam, pada hal. 73 catatan kaki no. 56 yang begitu tega menyebut Sayyid Quthb tidak mengetahui seluk beluk bahasa Arab.

Kami tidak tahu, kira-kira apa yang akan dikatakan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh kepada Andi Abu Thalib, kalau dia tahu ada omongan pemuda Indonesia -tentu tidak menjadikan bahasa Arab sebagai pengantar komunikasinya- yang tega menyebut Sayyid Quthb tidak mengerti bahasa Arab. Padahal kritikan Syaikh di atas diarahkan untuk para pengkritik Sayyid Quthb dari kalangan orang Arab (tentu berbahasa Arab) bahkan syaikh-syaikhnya. Sungguh, amat berbeda antara ucapan orang berilmu seperti syaikh yang mulia ini, dibanding ucapan penuntut ilmu itu. Bahkan Syaikh Bakr Abu Zaid ketika membela Sayyid Quthb dari celaan. Syaikh Bakr Abu Zaid mengatakan bahwa perbedaan bahasa yang digunakan Sayyid Quthb dan Syaikh Rabi’ seperti perbedaan bahasa antara mahasiswa dan anak I’dadi (persiapan bahasa), sehingga si anak I’dadi tidak begitu paham dengan bahasa si mahasiswa.(Ibid, hal. 322)

Itu perbandingan dari Syaikh Bakr Abu Zaid tentang kemampuan berbahasa Arab antara Sayyid Quthb dan Syaikh Rabi’ (yang seorang guru besar, Profesor di Universitas Islam Madinah), lalu bagaimana perbandingan antara Sayyid Quthb dengan Andi Abu Thalib yang orang Indonesia, mantan santri di pesantren Jawa Timur dan kuliah di Sastra Jepang UI angkatan 1999M. Jangan sampai pembaca Tatsqif mengumpamakannya seperti perbedaan Mahasiswa dengan balita!

Maka, wahai pembaca, bukankah selayaknya ini disebut kesombongan penulis Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin, agar ia bisa berbangga- bangga dengan ilmunya di depan ulama.

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ‘Alaihi Shalatu was Salam bersabda: “Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk membanggakannya kepada para ulama dan melecehkan orang-orang bodoh, dan janganlah kalian memilih-milih majlis dengan ilmu itu, barangsiapa melakukan hal tersebut maka api neraka, api neraka (baginya).” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, dan al Baihaqi. Semuanya dari jalur Yahya bin Ayyub al Ghafiqi dari Ibnu Juraij, dari Abuz Zubair, dari jabir. Yahya initerpercaya. Asy Syaikhan dan lainnya berhujjah dengannya, dan tidak dianggap orang yang ganjil (syadz) dalam riwayat ini. Ibnu Majah meriwayatkan pula dari Hudzaifah. Syaikh al Albany menshahihkan hadits ini dalam Shahih Targhib wa Tarhib 1/119)

5.Syaikh Manna’ Khalil al Qaththan -rahimahullah.

Pakar Tafsir dan Hadits, dosen pasca sarjana di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud Al Islamiyah, Riyadh. Mantan Ketua Mahkamah Tinggi di Riyadh. Dia juga seorang anggota Ikhwan, seangkatan dengan Yusuf al Qaradhawy. Posisinya di Saudi yang demikian tinggi menunjukkan penerimaan ulama Saudi terhadap tokoh-tokoh Ikhwan, begitu pula Yusuf al Qaradhawy pernah menjadi anggota Majelis Tinggi Universitas Islam Madinah yang direktori Syaikh bin Baz.

Kami ringkas ucapan Syaikh Manna’, dia berkata, “Di antara tokoh jamaah ini yang paling menoniol adalahseorang alim yang sulit dicari bandingannya dan pemikir cemerlang, Asy Syahid Sayyid Quthb, yang telah memfilsafatkan pemikiran Islam dan menyingkapkan ajaran¬ajarannya yang benar dengan jelas dan gamblang. Tokoh yang menemui Tuhannya, sebagai syahid dalam membela akidah ini telah meninggalkan warisan pemikiran sangat bermutu, terutama kitabnya dalam bidang tafsir yang diberi nama Fi Zhilalil Qur’an.

Kitab tersebut merupakan sebuah tafsir sempurna tentang kehidupan di bawah sinar Qur’an dan petunjuk Islam. Pengarangnya hidup di bawah naungan Qur’an yang bijaksana sebagaimana dapat dipahami dari penamaan kitabnya. Ia meresapi keindahan Qur’an dan mampu mengungkapkan perasaannya dengan jujur ….dst.

Kitab ini terdiri atas delapan jilid besar dan telah mengalami cetak ulang beberapa kali hanya dalam beberapa tahun saja, karena mendapat sambutan hangat dari kaum terpelajar (ilmuwan).” (Ibid, hal. 326-327. Manna Khalil al Qaththan, Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an, hal. 506-507)

6. Syaikh Umar Sulaiman al Asyqar. Seorang ulama Quwait, dosen Fakultas Syariah di Universitas Quwait

Dia berkata, “Sayyid Quthb -rahimahullah mendalami Islam secara orisinil sehingga beliau mencapai masalah secara mendasar seperti manhaj salaf, pemisahan total antara manhaj Al Qur’an dan filsafat, memurnikan sumber ajaran Islam dari lainnva. membatasi standar hukum hanya dengan Al Qur’an dan As Sunnah dan bukan pada pribadi atau tokoh tertentu. Sayyid Quthb menerapkan cara istimbath langsung dari nash seperti yang dilakukan salaf. Akan tetapi, sayangnya beliau tidak memiliki kesempatan mempelajari manhaj Islam. oleh karena itu, terkadana ada beberapa titik rancu dalam tulisannya meskipun beliau sudah berupaya mengkaji secara serius untuk berlepas dari kerancuan. Pastinya, Sayyid Quthb tidak melakukan hal tersebut karena hawa nafsunya.” (Jasim al Muhalhil, Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban, Tuduhan, dan Harapan, hal. 124)

Siapa saja bisa berbuat salah sebab yang ma’shum hanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Namun demikian seharusnya, kita berbaik sangka terhadap kerancuan yang ada tulisan atau pemikiran ulama, siapapun dia. Kesalahan yang dilakukan oleh Hasan al Banna, Sayyid Quthb, Yusuf al Qaradhawy, Muhammad al Ghazaly, kita yakini bukanlah kesalahan yang mereka niatkan dengan sengaja bertujuan merusak agama sebagaimana yang sering dituduhkan sebagian orang kepada mereka. Mungkin kesalahan itu sekedar lupa, atau kesalahan yang masih bisa dimaafkan atau masih bisa didiskusikan. Pastinya, bukan karena kejahatan dan penistaan terhadap ajaran agama.

Sekiranya tulisan ini dibaca oleh kalangan yang hobi menyerang tokoh-tokoh Ikhwan, kami berharap semoga Allah Jalla wa ‘Ala membuka hati-hati mereka untuk melihat kebenaran dan objektifitas.

Kesaksian Para Ulama dan Tokoh Islam

Kesaksian Para Ulama dan Tokoh Islam
Syaikh al Qaradhawy amat dicintai dan dihormati kalangan ulama. Mereka adalah para Ulama, dai dan pemikir Islam ternama. Bahkan diantara mereka terdapat masyayikh para penghujat. Memang, hanya orang besar yang dapat menghargai orang besar di di mana pun uang receh selalu berisik dan ramai, sementara uang kertas selalu tenang. Mereka berkata tentang Syaikh al Qaradhawy sebagai berikut:

Hasan al Banna berkata: “Sesungguhnya ia adalah seorang penyair yang jempolan dan berbakat”

Imam Kabir Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz mantan mufti kerajaan Saudi dan ketua Hai’ah Kibarul Ulama berkata: “Buku-bukunya memiliki bobot ilmiah dan sangat berpengaruh di dunia Islam.”

Imam al Muhaddits Muhammad Nashiruddin al Albany-ahli hadis terkemuka abad 20 berkata, “Saya diminta (al Qaradhawy) untuk meneliti riwayat hadis serta menjelaskan kesahihan dan ke dha’ifan hadis yang terdapat dalam bukunya (Halal wal Haram). Hal itu menunjukkan ia memiliki akhlak yang mulia dan pribadi yang baik. Saya mengetahui semua secara langsung. Setiap dia bertemu saya dalam satu kesempatan, ia akan selalu menanyakan kepada saya tentang hadis atau masalah fiqh. Dia melakukan itu agar ia mengetahui pendapat saya mengenai masalah itu dan ia dapat mengambil manfaat dari pendapat saya tersebut. Itu semua menunjukkan kerendahan hatinya yang sangat tinggi serta kesopanan dan adab yang tiada tara. Semoga Allah SWT mendatangkan manfaat dengan keberadaannya.” Mengapapa pengikut ke-2 syaikh itu tidak mengambil manfaat dari kesaksian mereka?

Imam Abul Hasan an Nadwi – ulama terkenal asal India berkata: “al Qaradhawy adalah seorang ‘alim yang sangat dalam ilmunya sekaligus sebagai pendidik kelas dunia.”

Al ‘Allamah Musthafa az Zarqa’, ahli fiqh asal Suriah berkata: “al Qaradhawy adalah Hujjah zaman ini dan ia merupakan nikmat Allah atas kaum muslimin.”

Al Muhaddits Abdul Fattah Abu Ghuddah, ahli hadis asal Suriah dan tokoh Ikhwanul Muslimin berkata: “al Qaradhawy adalah mursyid kita. Ia adalah seorang ‘Allamah.”

Syaikh Qadhi Husein Ahmad, amir Jamiat Islami Pakistan berkata: “Al Qaradhawy adalah madrasah ilmiah fiqhiyah dan da’awiyah. Wajib bagi umat untuk mereguk ilmunya yang sejuk.”

Syaikh Thaha Jabir al Ulwani, direktur International Institute of Islamic Thought di AS – berkata: “Al Qaradhawy adalah faqihnya para dai dan dainya para faqih.”

Syaikh Muhammad alGhazaly- dai dan ulama besar asal Mesir yang pernah menjadi guru al Qaradhawy sekaligus tokoh Ikhwanul Muslimin berkata: “Al Qaradhawy adalah salah seorang Imam kaum muslimin zaman ini yang mampu menggabungkan fiqh antara akal dengan atsar.” Ketika ditanya lagi tentang al Qaradhawy, ia menjawab, “Saya gurunya, tetapi ia ustadku. Syaikh dulu pernah menjadi muridku, tetapi kini ia telah menjadi guruku.”

Syaikh Abdullah bin Baih -dosen Univ. malik Abdul Aziz di Saudi – berkata: “Sesungguhnya Allamah Dr. Yusuf al Qaradhawy adalah sosok yang tidak perlu lagi pujian karena ia adalah seorang ‘alim yang memiliki keluasan ilmu bagaikan samudera. Ia adalah seorang dai yang sangat berpengaruh. Seorang murabbi generasi Islam yang sangat jempolan dan seorang reformis yang berbakti dengan amal dan perkataan. Ia sebarkan ilmu dan hikmah karena ia adalah sosok pendidik yang profesional.”

Lebih dari itu, sesungguhnya Syaikh al Qaradhawy bukanlah seorang faqih yang hanya menyodorkan solusi teoritis mengenai masalah-masalah umat saat ini, masalah ekonomi, sosial dan lainnya, tetapi ia adalah seorang praktisi lapangan yang tangguh dan langsung turun ke lapangan. Ia telah menyumbangkan kontribusinya yang sangat besar dalam mendirikan pusat-pusat kajian keilmuan, universitas-universitas, dan lembaga-lembaga bantuan. Ringkasnya, al Qaradhawy adalah seorang Imam dari para Imam kaum muslimin masa kini dan ia adalah seorang Syaikhul Islam masa kini.

Jika anda sepakat dengannya, pasti anda akan merasakan kepuasan dengan alasan-alasan dan hujjah yang ia kemukakan. Jika tidak setuju dengannya, pasti anda akan menghormati pendapatnya karena pendapat yang ia lontarkan adalah pendapat seorang ‘alim yang takwa. Pendapat yang tidak muncul dari kebodohan dan tidak pula dari hawa nafsu. Takwa dan ilmu merupakan syarat bagi mereka yang menerjukan diri dalam fatwa agar fatwa dan kata-kata yang dikeluarkannya dihormati dan bernilai. Dua syarat itu telah terpenuhi Syaikh Yusuf al Qaradhawy.

Ia memiliki karakter yang sangat memadai untuk disebut sebagai seorang ‘alim dan Imam. Ia adalah seorang ‘alim yang berilmu sangat luar dan dalam. Pengetahuannya multidimensi. Ia mampu menggabungkan antara naqli dan aqli, antara Alquran dan Assunnah, antara pokok (ushul) dan cabang (furu), antara sastra dan bahasa.

Di samping itu, ia pun memiliki ilmu penetahuan modern yang sangat luas. Hujjah-hujjah nya sangat jelas dan keterangan- keterangannya sangat memukau. Selain itu, ia memiliki kepribadian yang menawan, jiwa yang baik, rendah hati, lidahnya bersih dan selamat dari rasa dengki. Karangannya seringkali menjadi senjata untuk membela orang-orang sezamannya seperti yang ia lakukan untuk Syaikh al Ghazaly. Sesungguhnya Yusuf al Qaradhawy adalah ulama unik yang jarang kita dapatkan di masa kini.

Syaikh Abdullah al ‘Aqil-mantan sekretari Liga Muslim Dunia-berkata: “Al Qaradhawy adalah laki-laki yang tahu langkah dakwah sekaligus sebagai faqih zaman ini.”

Syaikh Abul Majid az Zindani-dai dan tokoh harakah asal Yaman-berkata, “Al Qaradhawy adalah seorang ‘alim dan mujahid.”

Syaikh Abdul Qadir al Umari-mantan ketua Mahkamah Syariah Qatar-berkata, “Al Qaradhawy adalah seorang faqih yang membawa kemudahan-kemudahan.”

Syaikh Muhammad ‘Umar Zubair berkata, “Al Qaradhawy adalah pembawa panji kemudahan dalam fatwa dan kabar gembira dalam dakwah.”

Syaikh r. Muhammad Fathi ‘Utsman-seorang pemikir Islam terkenal-berkata, “Al Qaradhawy adalah seorang tokoh dan dai yang memiliki mata hati yang tajam dalam melihat realitas.”

Syaikh Adil Husein-penulis muslim dan tokoh Partai Amal di Mesir-berkata, “Al Qaradhawy adalah seorang ahli fiqh moderat zaman ini.”

Syaikh Rasyid al Ghanusyi-tokoh harakah dan ketua Partai Nahdhah di Tunisia berkata, “Ia adalah Imam Mujaddid. Al Qaradhawy adalah lisan kebenaran yang memberikan pukulan keras kepada orang-orang munafik di Tunisia.”

Syaikh Ahmad ar Rasyuni – ketua Jama’ah Tauhid di Maroko berkata, “Al Qaradhawy adalah seorang faqih yang mengerti maksud penerapan syariah.”

Syaikh Umar Nashef – Direktur Univ. King Abdul Aziz berkata, “Al Qaradhawy berada pada puncak pengabdiannya pada ilmu pengetahuan.”

Syaikh Adnan Zarzur -Profesor dan Ketua Dekan Fakultas ushuluddin di Univ. Qatar berkata, “Al Qaradhawy adalah seorang mujaddid. Ia adalah faqih dan mujtahid zaman ini. Al Qaradhawy telah berhasil menggabungkan ketelitian seorang faqih, semangat seorang dai, keberanian seorang mujaddid dan kemampuan seorang Imam. Al Qaradhawy telah membangun dakwah Islam dalam fiqh dan ijtihad.”

Isham Talimah mengutip perkataan seorang ulama, “Andaikata al Qaradhawy hanya mengarang buku Fiqh Zakat, dia akan berjumpa dengan Allah SWT dan telah dianggap membaktikan dirinya di bidang ilmiah untuk kepentingan Islam dan Umat Islam.”

Abul A’la al Maududi mengatakan bahwa Fiqh Zakat adalah buku zaman ini dalam fiqh Islam. Para spesialis masalah zakat mengatakan belum pernah ada satu karya pun yang menandingi Fiqh Zakat karya Al Qaradhawy.

Demikianlah pujian dan kesaksian yang bergelombang dari para ulama dunia dan tokoh-tokoh Islam untuk Hujjatuna wa ‘Allimuna al Imam ‘Allamah Syaikhul Islam Muhammad Yusuf al Qaradhawy Hafizhahullah. Di mana posisi para pencela menurut para Ulama itu? Cukuplah kiranya kesaksian-kesaksian itu membuat malu dan sadar para penuduhnya. Semoga Allah SWT menyatukan kita semua dalam kebenaran.

Al Ikhwan Al Muslimun, Anugerah Allah yang Terzalimi hal. 182-185

Adakah Berpolitik dan Berpartai Dicontohkan Nabi dan Sahabat?

Adakah Berpolitik dan Berpartai Dicontohkan Nabi dan Sahabat?
Ustadz, ana ingin bertanya.

Kalau dilihat dari realita yang sekarang, banyak sekali partai yang mengatas namakan partai Islam (PKB, PKS, PAN dan lain-lain) sehingga sebagai seorang muslim ada yang mewajibkan harus memilih salah satu dari beberapa partai tersebut atau bahkan sama sekali tidak memilih.

Yang menjadi pertanyaan, bagaimana sesungguhnya atau sebenarnya dilihat dari sudut pandang Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam hal berpolitik/berpartai? Ada nggak contohnya dari Nabi dan para sahabat? Mohon penjelasan, jazakumulloh khoiron katsiron.

Wassalam,

Abu Hurairah Ali Asmara

Jawaban

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW dan para shahabatnya seumur-umur belum pernah ikut pemilu, apalagi membangun dan mengurusi partai politik. Realita seperti ini sudah disepakati oleh semua orang, termasuk para ahli sejarah, ulama dan juga semua umat Islam.

Dengan realita seperti ini, sebagian kalangan lalu mengharamkan pemilu dan mendirikan partai. Alasannya, karena tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW, juga tidak pernah dilakukan oleh para shahabat beliau yang mulia, bahkan sampai sekian generasi berikutnya, tidak pernah ada pemilu dan pendirian partai politik dalam sejarah Islam.

Bahkan sebagian dari mereka sampai mengeluarkan statemen unik, yaitu bahwa ikut pemilu dan menjalankan partai merupakan sebuah bid’ah dhalalah, di mana pelakunya pasti akan masuk neraka.

Ditambah lagi pandangan sebagian mereka bahwa sistem pemilu, partai politik dan ide demokrasi merupakan hasil pemikiran orang-orang kafir. Sehingga semakin haram saja hukumnya.

Tentu saja pendapat seperti ini bukan satu-satunya buah pikiran yang muncul di kalangan umat. Sebagian lain dari elemen umat ini punya pandangan berbeda.

Mereka tidak mempermasalahkan bahwa dahulu Rasulullah SAW dan para shahabat tidak pernah ikut pemilu dan berpartai. Sebab pemilu dan partai hanyalah sebuah fenomena zaman tertentu dan bukan esensi. Lagi pula, tidak ikutnya beliau SAW dan tidak mendirikan partai, bukanlah dalil yang sharih dari haramnya kedua hal itu. Bahwa asal usul pemilu, partai dan demokrasi yang konon dari orang kafir, tidak otomatis menjadikan hukumnya haram.

Dan kalau mau jujur, memang tidak ada satu pun ayat Quran atau hadits nabi SAW yang secara zahir mengharamkan partai politik, pemilu atau demokrasi. Sebagaimana juga tidak ada dalil yang secara zahir membolehkannya. Kalau pun ada fatwa yang mengharamkan atau membolehkan, semuanya berangkat dari istimbath hukum yang panjang. Tidak berdasarkan dalil-dalil yang tegas dan langsung bisa dipahami.

Namun tidak sedikit dari ulama yang punya pandangan jauh dan berupaya melihat realitas. Mereka memandang meski pemilu, partai politik serta demokrasi datang dari orang kafir, mereka tetap bisa melihat esensi dan kenyataan. Berikut ini kami petikkan beberapa pendapat sebagian ulama dunia tentang hal-hal yang anda tanyakan.

Seruan Para Ulama untuk Mendukung Dakwah Lewat Parlemen

Apa komentar para ulama tentang masuknya muslimin ke dalam parlemen? Dan apakah mereka membid’ahkannya?

Ternyata anggapan yang menyalahkan dakwah lewat parlemen itu keliru, sebab ada sekian banyak ulama Islam yang justru berkeyakinan bahwa dakwah lewat parlemen itu boleh dilakukan. Bahkan sebagiannya memandang bahwa bila hal itu merupakan salah satu jalan sukses menuju kepada penegakan syariat Islam, maka hukumnya menjadi wajib.

Di antara para ulama yang memberikan pendapatnya tentang kebolehan atau keharusan dakwah lewat parlemen antara lain:

Imam Al-‘Izz Ibnu Abdis Salam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
Muhammad Rasyid Ridha
Syeikh Abdurrahman Bin Nashir As-Sa’di: Ulama Qasim
Syeikh Ahmad Muhammad Syakir: Muhaddis Lembah Nil
Syeikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-AlBani
Syeikh Dr. Shalih bin Fauzan
Syeikh Abdullah bin Qu’ud
Syeikh Dr. Umar Sulaiman Al-‘Asyqar
Syeikh Abdurrahman bin Abdul Khaliq

Kalau diperhatikan, yang mengatakan demikian justru para ulama yang sering dianggap kurang peka pada masalah politik praktis. Ternyata gambaran itu tidak seperti yang kita kira sebelumnya. Siapakah yang tidak kenal Bin Baz, Utsaimin, Albani, Asy-Syinqithi, Shalih Fauzan dan lainnya?

1. Pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

a. Fatwa Pertama

Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang dasar syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih untuk memilih para da’i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka beliau menjawab:

Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT.

Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu terpilihnya para da’i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para pembelanya, wallahul muwafiq.

b. Fatwa Kedua

Di lain waktu, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syeikh Bin Baz: Apakah para ulama dan duat wajib melakukan amar makruf nahi munkar dalam bidang politik? Dan bagaimana aturannya?

Beliau menjawab bahwa dakwah kepada Allah SWT itu mutlak wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi munkar pun begitu juga. Namun harus dilakukan dengan hikmah, uslub yang baik, perkataan yang lembut, bukan dengan cara kasar dan arogan. Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di masyarakat.

Lebih jauh beliau menegaskan bahwa bila dia memiliki bashirah dan dengan cara yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau ta’yir melainkan dengan kata-kata yang baik.

Dengan mengatakan wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah berfirman tentang masalah ini begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah itu begitu. Sebagaimana firman Allah SWT:

Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An-Nahl: 125).

Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman Allah SWT:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu? (QS Ali Imran: 159)

Dan tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang mampu. Seperti merubah isteri dan anak-anaknya, atau seperti pejabat yang berpengaruh pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia mengangkat masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk menolak kemungkaran dengan cara yang baik.

c. Fatwa Ketiga

Majalah Al-Ishlah pernah juga bertanya kepada Syeikh yang pernah menjadi Mufti Kerajaan Saudi Arabia. Mereka bertanya tentang hukum masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya?

Syaikh Bin Baz menjawab bahwa masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agam Allah SWT, berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan. Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya.

Bila dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal bashirah hingga memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu. Dan Allah SWT memberinya pahala atas kerjanya itu.

Namun bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah, akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya, niscaya majelis ini memberinya ganjaran yang besar.

d. Fatwa Keempat

Pimpinan Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh Muhammad Hasyim Al-Hadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4 Rabi’ul Akhir 1415 H. Teks pertanyaan beliau adalah:

Dari Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai’ah Kibar Ulama wa Idarat Al-buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta’.

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Saya mohon fatwa atas masalah berikut: Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif pada pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan? Apakah dia diharuskan untuk menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya? Namun dia tetap mantap dalam aqidahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam.

Jawaban Syeikh Bin Baz:

Wa ‘alaikumussalam wr wb. Bila kondisinya seperti yang Anda katakan, maka tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman,”Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan.” Namun janganlah dia membantu kebatilan atau ikut di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,”Dan janganlah saling tolong dalam dosa dan permusuhan.” Waffaqallahul jami’ lima yurdhihi, wassalam wr. Wb.

Bin Baz

2. Wawancara dengan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin

Pada bulan Oktober 1993 edisi 42, Majalah Al-Furqan Kuwait mewawancarai Syaikh Muhammad bin shalih Al-‘Utsaimin, seorang ulama besar di Saudi Arabia yang menjadi banyak rujukan umat Islam di berbagai negara. Berikut ini adalah petikan wawancaranya seputar masalah hukum masuk ke dalam parlemen.

Majalah Al-Furqan :. Fadhilatus Syaikh Hafizakumullah, tentang hukum masuk ke dalam majelis niyabah (DPR) padahal negara tersebut tidak menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, apa komentar Anda dalam masalah ini?

Syaikh Al-‘Utsaimin : Kami punya jawaban sebelumnya yaitu harus masuk dan bermusyarakah di dalam pemerintahan. Dan seseorang harus meniatkan masuknya itu untuk melakukan ishlah (perbaikan), bukan untuk menyetujui atas semua yang ditetapkan.

Dalam hal ini bila dia mendapatkan hal yang bertentangan dengan syariah, harus ditolak. Meskipun penolakannya itu mungkin belum diikuti dan didukung oleh orang banyak pada pertama kali, kedua kali, bulan pertama, kedua, ketiga, tahun pertama atau tahun kedua, namun ke depan pasti akan memiliki pengaruh yang baik.

Sedangkan membiarkan kesempatan itu dan meninggalkan kursi itu untuk orang-orang yang jauh dari tahkim syariah merupakan tafrit yang dahsyat. Tidak selayaknya bersikap seperti itu.

Majalah Al-Furqan : Sekarang ini di Majelis Umah di Kuwait ada Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Ada yang mendukungnya tapi ada juga yang menolaknya dan hingga kini masih menjadi perdebatan. Apa komentar Anda dalam hal ini, juga peran lembaga ini. Apa taujih Anda bagi mereka yang menolak lembaga ini dan yang mendukungnya?

Syaikh Al-Utsaimin: Pendapat kami adalah bermohon kepada Allah SWT agar membantu para ikhwan kita di Kuwait kepada apa yang membuat baik dien dan dunia mereka. Tidak diragukan lagi bahwa adanya Lembaga Amar Makmur Nahi Munkar menjadikan simbol atas syariah dan memiliki hikmah dalam muamalah hamba Allah SWT. Jelas bahwa lembaga ini merupakan kebaikan bagi negeri dan rakyat. Semoga Allah SWT menyukseskannya buat ikhwan di Kuwait.

Pada bulan Zul-Hijjah 1411 H bertepatan dengan bulan Mei 1996 Majalah Al-Furqan melakukan wawancara kembali dengan Syaikh Utsaimin:

Majalah Al-Furqan: Apa hukum masuk ke dalam parlemen?

Syaikh Al-‘Utsaimin: Saya memandang bahwa masuk ke dalam majelis perwakilan (DPR) itu boleh. Bila seseorang bertujuan untuk mashlahat baik mencegah kejahatan atau memasukkan kebaikan. Sebab semakin banyak orang-orang shalih di dalam lembaga ini, maka akan menjadi lebih dekat kepada keselamatan dan semakin jauh dari bala’.

Sedangkan masalah sumpah untuk menghormati undang-undang, maka hendaknya dia bersumpah untuk menghormati undang-undang selama tidak bertentangan dengan syariat. Dan semua amal itu tergantung pada niatnya di mana setiap orang akan mendapat sesuai yang diniatkannya.

Namun tindakan meninggalkan majelis ini buat orang-orang bodoh, fasik dan sekuler adalah perbuatan ghalat (rancu) yang tidak menyelesaikan masalah. Demi Allah, seandainya ada kebaikan untuk meninggalkan majelis ini, pastilah kami akan katakan wajib menjauhinya dan tidak memasukinya. Namun keadaannya adalah sebaliknya. Mungkin saja Allah SWT menjadikan kebaikan yang besar di hadapan seorang anggota parlemen. Dan dia barangkali memang benar-benar mengausai masalah, memahami kondisi masyarakat, hasil-hasil kerjanya, bahkan mungkin dia punya kemampuan yang baik dalam berargumentasi, berdiplomasi dan persuasi, hingga membuat anggota parlemen lainnya tidak berkutik. Dan menghasilkan kebaikan yang banyak. (lihat majalah Al-Furqan – Kuwait hal. 18-19)

Jadi kita memang perlu memperjuangkan Islam di segala lini termasuk di dalam parlemen. Asal tujuannya murni untuk menegakkan Islam. Dan kami masih punya 13 ulama lainnya yang juga meminta kita untuk berjuang menegakkan Islam lewat parlemen. Insya Allah SWT pada kesempatan lain kami akan menyampaikan pula. Sebab bila semua dicantumkan di sini, maka pastilah akan memenuhi ruang ini. Mungkin kami akan menerbitkannya saja sebagai sebuah buku tersendiri bila Allah SWT menghendaki.

3. Pendapat Imam Al-‘Izz Ibnu Abdis Salam

Dalam kitab Qawa’idul Ahkam karya Al-‘Izz bin Abdus Salam tercantum: Bila orang kafir berkuasa pada sebuah wilayah yang luas, lalu mereka menyerahkan masalah hukum kepada orang yang mendahulukan kemaslahatan umat Islam secara umum, maka yang benar adalah merealisasikan hal tersebut. Hal ini mendapatkan kemaslahatan umum dan menolak mafsadah. Karena menunda masalahat umum dan menanggung mafsadat bukanlah hal yang layak dalam paradigma syariah yang bersifat kasih. Hanya lantaran tidak terdapatnya orang yang sempurna untuk memangku jabatan tersebut hingga ada orang yang memang memenuhi syarat.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami menurut pandangan imam rahimahullah, bahwa memangku jabatan di bawah pemerintahan kafir itu adalah hal yang diperlukan. Untuk merealisasikan kemaslahatan yang sesuai dengan syariat Islam dan menolak mafsadah jika diserahkan kepada orang kafir. Jika dengan hal itu maslahat bisa dijalankan, maka tidak ada larangan secara sya’ri untuk memangku jabatan meski di bawah pemerintahan kafir.

Kasus ini mirip dengan yang terjadi di masa sekarang ini di mana seseorang menjabat sebagai anggota parlemen pada sebuah pemeritahan non Islam. Jika melihat pendapat beliau di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menjadi anggota parlemen diperbolehkan.

4. Pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Dalam kitab Thuruq Al-Hikmah, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691- 751 H) dalam kitabnya At-Turuq al-Hukmiyah menulis:

Masalah ini cukup pelik dan rawan, juga sempit dan sulit. terkadang sekelompok orang melewati batas, menghilangkan hak-hak, dan mendorong berlaku kejahatan kepada kerusakan serta menjadikan syariat itu sempit sehingga tidak mampu memberikan jawaban kepada pemeluknya. dan menghalangi diri mereka dari jalan yang benar, yaitu jalan untuk mengetahui kebenaran dan menerapkannya. Sehingga mereka menolak hal tersebut, pada hal mereka dan yang lainnya tahu secara pasti bahwa hal itu adalah hal yang wajib diterapkan namun mereka menyangkal bahwa hal itu bertentangan dengan qowaid syariah.

Mereka mengatakan bahwa hal itu tidak sesuai yang dibawa rosulullah, yang menjadikan mereka berpikir seperti itu kurangnya mereka dalam memahami syariah dan pengenalan kondisi lapangan atau keduanya, sehingga begitu mereka melihat hal tersebut dan melihat orang-orang melakukan hal yang tidak sesuai yang dipahaminya, mereka melakukan kejahatan yang panjang, kerusakan yang besar. Maka permasalahannya jadi terbalik.

Di sisi lain ada kelompok yang berlawanan pendapatnya dan menafikan hukum Allah dan RasulNya. Kedua kelompok di atas sama-sama kurang memahami risalah yang dibawa RasulNya dan diturunkan dalam kitabnya, padahal Allah swt. telah mengutus RasulNya dan menurunkan kitabNya agar manusia menjalankan keadilan yang dengan keadilan itu bumi dan langit di tegakkan. Bila ciri-ciri keadilan itu mulai nampak dan wajahnya tampil dengan beragam cara maka itulah syariat Allah dan agamaNya. Allah swt maha tahu dan maha hakim untuk memilih jalan menuju keadilan dan memberinya ciri dan tanda. Maka apapun jalan yang bisa membawa tegaknya keadilan maka itu adalah bagian dari agama, dan tidak bertentangan dengan agama.

Maka tidak boleh dikatakan bahwa politik yang adil itu berbeda dengan syariat, tetapi sebaliknya justru sesuai dengan syariat, bahkan bagian dari syariat itu sendiri. Kami menamakannya sebagai politik sekedar mengikuti istilah yang Anda buat tetapi pada hakikatnya merupakan keadilan Allah dan RasulNya. Imam yang muhaqqiq ini mengatakan apapun cara untuk melahirkan keadilan maka itu adakah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya. Jelasnya bab ini menegaskan bahwa apapun yang bisa melahirkan keadilan boleh dilakukan dan dia bagian dari politik yang sesuai dengan syariah. Dan tidak ada keraguan bahwa siapa yang menjabat sebuah kekuasaan maka ia harus menegakkan keadilan yang sesuai dengan syariat. Dan berlaku ihsan bekerja untuk kepentingan syariat meskipun di bawah pemerintahan kafir.

5. Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan

Syekh Shaleh Alfauzan ditanya tentang hukum memasuki parlemen. Syekh Fauzan balik bertanya, “Apa itu parlemen?” Salah seorang peserta menjawab “Dewan legislatif atau yang lainnya” Syekh, “Masuk untuk berdakwah di dalamnya?” Salah seorang peserta menjawab, “Ikut berperan serta di dalamnya” Syekh, “Maksudnya menjadi anggota di dalamnya?” Peserta, “Iya.”

Syeikh: “Apakah dengan keanggotaan di dalamnya akan menghasilkan kemaslahatan bagi kaum muslimin? Jika memang ada kemaslahatan yang dihasilkan bagi kaum muslimin dan memiliki tujuan untuk memperbaiki parlemen ini agar berubah kepada Islam, maka ini adalah suatu yang baik, atau paling tidak bertujuan untuk mengurangi kejahatan terhadap kaum muslimin dan menghasilkan sebagian kemaslahatan, jika tidak memungkinkan kemaslahatan seluruhnya meskipun hanya sedikit.”

Salah seorang peserta, “Terkadang didalamnya terjadi tanazul (pelepasan) dari sejumlah perkara dari manusia.”

Syeikh: “Tanazul yang dimaksud adalah kufur kepada Allah atau apa?”

Salah seorang peserta, “Mengakui.”

Syeikh: “Tidak boleh. adanya pengakuan tersebut. Jika dengan pengakuan tersebut ia meninggalkan agamanya dengan alasan berdakwah kepada Allah, ini tidak dibenarkan. Tetapi jika mereka tidak mensyaratkan adanya pengakuan terhadap hal-hal ini dan ia tetap berada dalam keIslaman akidah dan agamanya, dan ketika memasukinya ada kemaslahatan bagi kaum muslimin dan apabila mereka tidak menerimanya ia meninggalkannya, apa mungkin ia bekerja untuk memaksa mereka?

Tidak mungkin kan untuk melakukan hal tersebut. Yusuf as ketika memasuki kementrian kerajaan, apa hasil yang ia peroleh? atau kalian tidak tahu hasil apa yang di peroleh Nabi Yusuf as?

Atau kalian tidak tahu tentang hal ini, apa yang diperoleh Nabi Yusuf ketika ia masuk, ketika raja berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya di sisi kami” Nabi Yusuf saat itu menjawab, “Jadikan aku bendaharawan negara karena aku amanah dan pandai.” Maka beliau masuk dan hukum berada di tangannya. Dan sekarang dia menjadi raja Mesir, sekaligus nabi.

Jadi bila masuknya itu melahirkan sesuatu yang baik, silahkan masuk saja. Tapi kalau hanya sekedar menyerahkan diri dan ridho terhadap hukum yang ada maka tidak boleh. Demikian juga bila tidak mendatangkan maslahat bagi umat Islam, maka masuknya tidak dibenarkan. Para ulama berkata, “Mendatangkan manfaat dan menyempurnakannya, meski tidak seluruh manfaat, tidak boleh diiringi dengan mafsadat yang lebih besar.”

Para ulama mengatakan bahwa Islam itu datang dengan visi menarik maslahat dan menyempurnakannya serta menolak mafsadah dan menguranginya. maksudnya bila tidak bisa menghilangkan semua mafsadat maka dikurangi, mendapatkan yang terkecil dari dua dhoror, itu yang diperintahkan. Jadi tergantung dari niat dan maksud seseorang dan hasil yang diperolehnya. Bila masuknya lantaran haus kekuasaan dan uang lalu diam atas segala penyelewengan yang ada, maka tidak boleh. Tapi kalau masuknya demi kemaslahatan kaum muslimin dan dakwah kepada jalan Allah, maka itulah yang dituntut. Tapi kalau dia harus mengakui hukum kafir maka tidak boleh, meski tujuannya mulia. seseorang tidak boleh menjadi kafir dan berkata “Tujuan saya mulia, saya berdakwah kepada Allah,” tidak tidak boleh itu.”

Salah seorang peserta, “Apa yang menjadi jalan keluarnya?”

“Jalan keluarnya adalah jika memang di dalamnya ada maslahat bagi kaum muslimin dan tidak menghasilkan madharat bagi dirinya, maka hal tersebut tidak bertentangan. Adapun jika tidak ada kemaslahatan di dalamnya bagi kaum muslimin atau hal tersebut mengakibatkan adanya kemadorotan yaitu pengakuan yaitu pengakuan akan kekufuran, maka hal tersebut tidak diperbolehkan” (Rekaman suara)

6. Syaikh Abdullah bin Qu’ud

Sebagian orang-orang meremehkan partai-partai politik Islam yang terdapat di sejumlah negara-negara Islam seperti Aljazair, Yaman, Sudan dan yang lainnya. Mereka yang ikut didalamnya dituduh dengan tuduhan sekuler dan lain-lainnya. Apa pendapat Anda tentang hal tersebut? Sikap atau peran apa yang harusnya dilakukan oleh kaum muslimin untuk menyikapi kondisi tersebut?

Jawaban : Akar persoalan dari semua itu adalah adanya dominasi sebagian para dai terhadap yang lainnya. Dan saya berpendapat bahwa seorang muslim yang diselamatkan Allah dari malapetaka untuk memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta berdoa untuk saudara-saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia dan negara-negara lainnya, ataupun bagi kaum muslimin yang berada di negeri-negeri yang jelas-jelas kafir.

Dan jika hal tersebut tidak memberikan manfaat kepada mereka, aku berpendapat minimal jangan memadhorotkan mereka. Karena sampai sekarang tidak ada bentuk solidaritas yang nyata kepada para dai tersebut padahal mereka telah mengalami berbagai ujian dan siksaan.

Dan kita wajib mendoakan kaum muslimin dan menaruh simpati kepada mereka di setiap tempat. Karena seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lainnya, jika mendengar kabar yang baik mengenai saudaranya di Sudan, Aljazair, Tunisia atau dinegeri mana saja maka hendaknya ia merespon positif dan seakan-akan ia berkata:

“Wahai kiranya saya ada bersama-sama mereka, tentu saya mendapat kemenangan yang besar” (QS. An-Nisaa: 73).

Dan apa bila mendengar malapetaka yang menimpa mereka, maka hendaklah ia mendoakan untuk saudaranya-saudaranya yang sedang diuji di negeri mana saja, supaya Allah melepaskan mereka dari orang-orang yang sesat dan menjadikan kekuasaan bagi kaum muslimin dan hendaklah ia memuji Allah karena telah menjaga dirinya.

Jangan sampai ada seseorang yang bersandar dengan punggungnya di negeri yang aman lalu mencela orang-orang atau para dai yang berjuang demi Islam di bawah kedholiman dan keseweng-wenangan dan intimidasi. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan tindakan yang tidak fair. boleh jadi engkau akan mendapat ujian jika Anda tidak merespon dengan perasaan Anda apa yang dirasakan oleh kaum muslimin yang sedang mengalami ujian dari Allah..

Demikian petikan beberapa pendapat para ulama tentang dakwah lewat pemilu, partai politik, parlemen dan sejenisnya. Semoga ada manfaatnya.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.
[eramuslim.com]

FATWA SYAIKH ABDULLAH BIN JIBRIN TENTANG HASAN AL-BANNA DAN SAYID QUTHUB

FATWA SYAIKH ABDULLAH BIN JIBRIN
(ANGGOTA HA’IAH KIBARIL ‘ULAMA AL-MAMLAKAH AL-‘ARABIYYAH AS-SU’UDIYYAH)
TENTANG HASAN AL-BANNA DAN SAYID QUTHUB

Soal:

Segelintir pemuda mengelompokkan Sayid Quthub dan Hasan Al-Banna sebagai ahli bid’ah berikut melarang membaca buku-buku mereka, serta menuduh beberapa ulama lainnya sebagai penganut faham khawarij. Alasan mereka melakukan itu semua adalah dalam rangka menjelaskan kesalahan kepada masyarakat, sedang status mereka sendiri masih sebagai para penuntut ilmu. Saya sangat mengharapkan jawaban yang dapat menghilangkan keragu-raguan dan kebingungan saya mengenai hal ini.

Jawab:

Segala puji bagi Allah semata. Menggelari orang lain sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah) atau fasik (pelaku dosa besar) adalah perbuatan yang tidak dibenarkan atas umat Islam, karena Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: “Wahai musuh Allah”, sedang kenyataannya tidak seperti itu, maka ucapannya itu menimpa dirinya sendiri.” (HR. Muslim).

“Barangsiapa yang mengkafirkan seorang muslim, maka ucapan itu tepat adanya pada salah satu di antara keduanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

“Bahwa ada seseorang yang melihat orang lain melakukan dosa, lalu ia berkata kepadanya: ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu’. Maka Allah berfirman: ‘Siapakah gerangan yang bersumpah atas (Nama)Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni si fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuninya dan Aku gugurkan (pahala) amalmu’.” (HR. Muslim).

Kemudian saya ingin mengatakan bahwa Sayid Quthub dan Hasan Al-Banna termasuk para ulama dan tokoh dakwah Islam. Melalui dakwah mereka berdua, Allah telah memberi hidayah kepada ribuan manusia. Partisipasi dan andil dakwah mereka berdua tak mungkin diingkari. Itulah sebabnya, Syaikh Abdulaziz bin Baaz mengajukan permohonan dengan nada yang lemah lembut kepada Presiden Mesir saat itu, Jamal Abdunnaser -semoga Allah membalasnya dengan ganjaran yang setimpal – untuk menarik kembali keputusannya menjatuhkan hukuman mati atas Sayid Quthub, meskipun pada akhirnya permohonan Syaikh Bin Baaz tersebut ditolak.

Setelah mereka berdua (Sayid Quthub dan Hasan Al-Banna) dibunuh, nama keduanya selalu disandangi sebutan “Asy-Syahid” karena mereka dibunuh dalam keadaan terzalimi dan teraniaya. Penyandangan sebutan “Asy-Syahid” tersebut diakui oleh seluruh lapisan masyarakat dan tersebarluaskan lewat media massa dan buku-buku tanpa adanya protes atau penolakan.

Buku-buku mereka berdua diterima oleh para ulama, dan Allah memberikan manfaat – dengan dakwah mereka – kepada hamba-hambaNya, serta tak ada seorang pun yang telah melemparkan tuduhan kepada mereka berdua selama lebih dari duapuluh tahun. Bila ada kesalahan yang mereka lakukan, maka hal yang sama telah dilakukan oleh Imam Nawawi, Imam Suyuthi, Imam Ibnul Jauzi, Imam Ibnu ‘Athiyah, Imam Al-Khaththabi, Imam Al-Qasthalani, dan yang lainnya.

Saya telah membaca apa yang ditulis oleh Syaikh Rabie’ bin Hadi Al-Madkhali (ulama muda Saudi yg anti IKHWAN-pen) tentang kitab bantahannya terhadap Sayid Quthub, tapi saya melihat tulisannya itu sebagai contoh pemberian judul yang sama sekali jauh dari kenyataan yang benar. Karena itulah, tulisannya tersebut dibantah oleh Syaikh Bakr Abu Zaid (juga anggota hai’ah Kibaril ‘Ulama KSA-pen) hafidzhahullah

Mata cinta
terasa letih memandang aib
Tapi mata benci
selalu melihat aib

Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin

26 Shafar 1417 H.

ref:
http://www.geocities.com/sprefutations/

HUJATAN TERHADAP TOKOH-TOKOH IKHWAN

Tersebarnya fikrah dan jaringan Ikhwan ke berbagai penjuru dunia mendapat sambutan yang luas dan antusias dari mayoritas umat Islam. Umat menyambutnya dengan tangan terbuka dan senang hati seperti antrian pasien yang telah lama menanti kedatangan tabib yang akan mengobati penyakit mereka. Akhirnya dengan karunia Allah Swt, Ikhwanul Muslimun menjadi gerakan Islam terbesar abad modern. Namun, tidak dapat dipungkiri juga ada sebagian kecil umat yang menentangnya melalui berbagai media, majelis dan lembaga yang mereka miliki. Pandangan sinis, su’uzh zhann, bahkan tuduhan terus-menerus dilayangkan ke arah Ikhwan. Bahkan di mata mereka, Ikhwan adalah gerakan yang sama dengan tong sampah.1)

Tidak ada kekhawatiran sedikitpun jika berbagai celaan itu datangnya dari kalangan atheis, komunis, sosialis, kapitalis, sekuleris, hedonis dan berbagai isme materialis lainnya karena itulah tugas mereka. Sudah semestinya alhaq tidak beriringan dengan albathil. Namun, kenyataan pahit harus dirasakan bahwa celaan datangnya justru dari saudara seiman; kawan seperjuangan yang telah mendakwakan dirinya sebagai penyeru dakwah tauhid, pemberantas bid’ah dan syirk. Sebuah bangunan yang dibina seribu orang hancur jika dirubuhkan satu orang. Bagaimana mungkin bangunan yang dibina satu orang dirubuhkan seribu orang?

Itu adalah musibah yang tidak kita kehendaki. Para ulama dan tokoh-tokoh dakwah Islam dihina serendah dasar lautan. Mereka mengolok-olok, memberi gelar mubtadi’ dan fasiq, serta menyisihkan karya-karyanya dari peredaran. Sungguh, tidak ada pembenaran sedikit pun terhadap perilaku ganjil seperti itu; tidak ada dalam alquran, tidak ada dalam hadist, dan tidak ada dalam atsar para sahabat dan salafush shalih. Allah ‘azza wa jalla memang pernah mencela. Rasul Saw pun demikian. Namun, semua itu ditujukan kepada manusia-manusia yang pantas menerimanya, seperti Fir’aun, Abu Jahal, Abu Lahab, Bani Israel, para penyembunyi kebenaran, kaum munafik dan orang yang enggan amar ma’ruf nahi munkar. Semua tela dicela Allah Swt dan RasulNya.

Namun jika yang adalah para ulama dan tokoh-tokoh dakwah yang telah diakui umat Islam sedunia-bahkan diakui pembesar-pembesar ulama masa kini, termasuk panutan pencela-hal itu adalah pandangan yang sangat aneh dan tidak mengenakkan. Amat baik jika mereka memperbaiki dan merenovasi pola pikir, akhlak dan adab mereka yang bermasalah.

Mereka melakukan upaya tahdzir 2) terhadap Hasan al Banna, Sayyid Quthb, Yusuf al Qaradhawy, Muhammad al Ghazaly, Abul A’la al Maududy, dan Abdul Qadir ‘Audah. Sebagian tokoh itu ada yang telah menemui Rabbnya dengan syahid dan sebagian masih menunggu untuk itu. Mereka melakukan tahdzir -sebenarnyalebih tepat disebut celaan- dengan alasan orang-orang itu memiliki kesalahan yang tidak sedikit dalam buku-bukunya yang harus diketahui umat demi keselamatan agama mereka.

Sungguh, justru sikap mereka yang menyimpang dari adab Islam itu telah membuat terbuka penyimpangan-penyimpangan lain yang melekat pada diri mereka. Para ulama dunia –demi mencari ridha’ Allah Swt dan menjaga kehormatan agama –bangkit menyambut mereka dengan berondongan nasihat agar mereka menyadari kekeliruan langkah mereka. Tahdzir yang mereka inginkan didapat, begitu pula ketenaran. Banyak orang akan berkata, “Lihat s Fulan berani men-tahdzir Yusuf al Qardhawy” sehingga nama mereka diabadikan sebagai manusia yang berani menelanjangi kehormatan para ulama. Tindakan mereka itu tidak mengurangi sedikitpun hak ulama. Sejarah telah berjalan, manusia telah berganti, tetapi mereka yang tercaci tetap hidup di hati umat dan abadi karena keikhlasan mereka dalam fi sabilillah dengan darah dan pena mereka.

Kami telah dapati sebuah buku yang amat mengerikan isinya. Antara muatan dan judul sama sekali tidak nyambung. Penuh caci maki atas nama Ahlussunnah terhadap Ikhwan dan gerakan lain. Sang penulis, Zaid bin Muhammad bin Hadi al Madkhaly, tampak gusar dengan tersebarnya dakwah Ikhwan yang dianggapnya sebagai teror pemikiran dengan tutur kata yang tidak dapat dikatakan sopan.

Sebagai contoh, ia berkomentar terhadap al Maududy, “Tulisannya kekal, sedang si penulis sudah binasa.”3) Lembar demi lembar berganti, ternyata amat banyak tokoh gerakan Islam yang tidak selamat dari tikamannya. Kami berharap itu semua hanya kekliruan terjemahan alias penulis tidak bermaksud demikian. Namun, apakah kesalahan sebanyak itu? Sayangnya, penulis telah membiarkan penyanya menari-nari untuk menjelekkan para ulama. Hall itu menjadi semakin sulit dan rumit ketika ternyata para tokoh itu tidak dianggap sebagai ulama sehingga ia semakin berani mencela.

Syaikh Muhammad bin Hadi –semoga Allah Swt memberi petunjuk kepadanya dan kita – pernah mengatakan 4) bahwa Sururiyin 5) dan Ikhwaniyin 6) adalah ahli bid’ah paling berbahaya zaman ini. Dr. Yusuf al Qaradhawy dijadikannya contoh ahli bid’ah dari Ikhwan. Menurutnya, fatwa Syaikh al Qaradhawy tentang jihad di Palestina – menurut al Qaradhawy, peperangan kita melawan Israel bukan masalah aqidah, melainkan mereka telah menyerang dan mengusir penduduk Palestina –adalah fatwa paling jahat!

Ya Allah..! Kami tidak pernah mengerti hal yang membuat Muhammad bin Hadi bersikap seperti itu. Apakah ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa fatwa seperti itu adalah pandangan jumhur (mayoritas) ulama. Jumhur ulama kita mengatakan peperangan kita dengan orang kafir bukanlah masalah aqidah, melainkan karena adanya permusuhan dan pengusiran yang mereka lakukan terhadap kita seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah dalam Risalah Qital. Apakah Muhammad bin Hadi menganggap jumhur ulama dan Ibnu Taimiyah berfatwa jahat? Tentang hal itu, kami membahas dalam bagiannya tersendiri.

Yusuf al Qaradhawy disebut al Qaradha (sang penggunting) Assunnah. Hasal al Banna dituduh sebagai sufi berpaham bathiniyah (paham sesat dalam tasawwuf). 7) Bahkan, Hasan al Banna yang dipuji Syaikh Ibnu al Jibrin –seorang ulama anggota Kibarul Ulama –telah dikomentari dengan perkataan yang amat tendensius. Zaid bin Muhammad binHadi berkata tentang al Banna, “Bahwasanya tidak diperkenankan bagi setiap orang untuk menghormati, bahkan menjadikannya seorang Imam yang dipanuti dalam akidah maupun akhlak, ibadah dan manhaj dakwahnya karena terdapat kesalahan fatal yang dibenci ulama as Salafiyun ar Rabbani dalam beberapa segi itu.” 8)

Masih kurang puas, Zaid bin Hadi memacu kuda kebenciannya dengan membuat seruan terbuka kepada segenap toko buku dan penerbitan yang isinya agar manusia menjauhi buku-buku, kaset-kaset dan selebaran 9) yang dikarang Sayyid Qutb, Muhammad al Ghazaly, Yusuf al Qaradhawy, Abul A’la al Maududy, Hasan al Banna, Muhammad Surur, Muhammad ar Rasyad, Sa’id Hawwa, Salman al’Audah, Safar al Hawali, murud-murid al Banna, dan keluarga Quthb. 10) Demikianlah sebagian celaan itu, terjadi dan terus terjadi hingga hari ini. Hal itu pun diikuti sebagian kecil pemuda yang awam terhadap masalah sebenarnya sebagai taqlid mereka terhadap tokoh-tokoh mereka.

Seharusnya para pemuda itu, selain mempelajari akidah, fiqh, tafsir dan hadist, harus mempelajari juga cara seorang muslim berakhlak terhadap muslim lainnya, terhadap orangtua, guru, orang yang berbeda, dan ulama. Pahamilah itu secara benar, lalu tawadhu dengannya. Boleh jadi ada kekeliruan yang dilakukan ulama dan tampak kekeliruan tersebut oleh para pemuda penuntut ilmu. Untuk itu mereka berhak untuk menasihati sesama muslim walau levelnya lebih tinggi. Namun, sama sekali tidak dibenarkan menodai kehormatan ulama dan yang demikian itu bukanlah akhlak salafus shalih yang sama-sama ingin kita teladani.

Berkata Imam Syathiby, “Sesungguhnya, tidak terburu-buru mengkritik ulama yang telah dikenal umat kemapanan ilmu, amanah dan sikap adilnya adalah suatu sifat yang mulia. Hendaklah seorang penuntut ilmu menuduh pendapatnya yang salah dan pendapat ulama lah yang benar. Janganlah tergesa-gesa mengkritik pendapat ulama sebelum menelitinya terlebih dahulu.”

Berkata Imam al Hafizh Ibnu ‘Asakir ad Dimasyqi, “Ketahuilah wahai saudaraku, semoga engkau diberik taufik Allah Swt untuk menggapai ridha’ Nya dan semoga Ia jadikan kita orang yang takut dan bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benarnya takwa bahwa daging para ulama rahimahumullah mempunyai racun. Sunnatullah Allah Swt bagi orang yang mencela ulama sudah dimaklumi bersama karena mencela sesuatu yang mereka sama sekali tidak pernah melakukannya, tentu berakibat sangat besar. Mengada-ada dan melanggar kehormatan mereka adalah lembah kehancuran dan membelakangi orang-orang yang dipilih Allah Swt dalam mengembangkan agama-Nya adalah suatu cela.” 11)

Sesungguhnya Rasulullah Saw mengajarkan umat Islam untuk menghormati ulama dan mencintainya. Jika mereka keliru dalam ijtihad-nya, kita serahkan kepada ulama yang ilmunya mumpuni untuk memberi koreksi secara ilmiah dan etis tanpa mengingkari haknya untuk tetap memperoleh penghargaan satu pahala dari Allah ‘Azza wa Jalla. Jika mereka benar, kita diajarkan untuk menerimanya karena kebenaran hakikatnya hanyalah dari Allah Swt. Tidak selayaknya kita malu menerima kebenaran itu walau datangnya dari musuh, apalagi dari ulama. Kesombongan adalah sikap tidak mau menerima kebenaran seperti yand disebutkan dalam sebuah hadist Nabi Saw.

Jika ada ulama yang memberikan pujian dan kesaksian positif terhadap ulama lain, hal itu harus diakui dan diterima dengan ikhlas. Jangan pernah membebani diri mencari-cari kesalahan dari pujian itu dengan memberikan takwail-takwil yang dipaksakan (takkaluf) agar pujian-pujian tersebut terlihat tidak pantas diterima. 12)

Sesungguhnya, setiap yang keluar dari lisan dan pena manusia akan dipertanggung-jawabkan di depan mahkamah Allah Swt kelak. Manusia tidak dapat mengelak dari dakwaan saat itu karena peristiwa itu adalah peristiwa yang sungguh besar. Selagi ajal belum menjemput, belum terlambat bagi manusia untuk melakukan koreksi dari ketergelinciran lisan, pikiran, maupun tulisan masa lalu agar selamat dari azab-Nya yang pedih. Jangan malu memperbaiki diri atau sungkan menerima kebenaran karena itu adalah kunci agar kita semakin baik dan dekat dengan kebenaran. Semoga Allah Swt menyatukan hati-hati kita dalam perjalanan menuju-Nya serta menghilangkan rasa ghill (dengki) terhadap orang-orang yang beriman.

——————————

[1] Penerjemah buku Terorisme dalam Tinjauan Islam (al Irhab wa Atsaruhu ‘alal Afrad wal Umam- terjemahan langsungnya Teror dan Pengaruhnya atas Individu dan Umat) berkata, “Tepat sekali jika gerakan IM dinyatakan sebagai gerakan tong/tempat sampah. Semua yang berbau busuk dan kotor ada di dalamnya. “ (Zaid bin Muhammad bin Hadi al Madkhaly, Terorisme dalam Tinjauan Islam, hlm. 50, catatan kaki no. 13)

[2] Tahdzir adalah upaya ulama menerangkan kekeliruan seseorang agar umat berhati-hati dan menjauhi kesalahan orang tersebut. Upaya tahdzir itu harus dilakukan ulama yang mendalam ilmunya, bukan para pemuda penuntut ilmu yang usil mulutnya!

[3] Zaid bin Muhammad bin Hadi al Madkhaly, Terorisme dalam Tinjauan Islam, hlm. 58, catatan kaki no. 24.

[4] Salafy edisi V/Dzulhijjah/1416/1996, hlm. 64.

[5] Sururiyin adalah orang-orang mengikuti Muhammad Surur Zainal Abidin, mantan anggota IM yang hidup di Saudi. Menurut mereka, ia telah menyelinap dan memecah gerakan salafiyah.

[6] Ikhwaniyin adalah sebutan mereka bagi para pengikut Ikhwanul Muslimun.

[7] Salafy edisi III/Syawal/1416//1996, hlm. 13.

[8] Zain bin Hadi al Madkhaly, Op Cit, hal. 57. Catatan kaki no. 22.

[9] Apakah maksud beliau membuat seruan ini karena faktor ekonomi, karena buku ulama yang dicelanya amat laris pada zaman ini, faktor ketenaran, atau semata ingin menasihati manusia? Jika demikian, itu adalah metode yang keliru dan aneh.

[10] Ibid, hlm. 152-154.

[11] As Sunnah, edisi 01/Tahun V/2000M/1412H, hlm. 6-7.

[12] Zaid bin Muhammad bin Hadi al Madkhaly telah berupaya mementahkan pujian Syaikh ibnu Jibrin terhadap Hasan al Banna dan Sayyid Quthb. Ia memaksakan diri menakwilkan pujian itu secara tidak ilmiah. (Lihat upaya melelahkan Zaid bin Hadi ini dalam Terorisme dalam Tinjauan Islam, hlm. 121-130).

Sikap Ulama terhadap Pihak yang Mencela Ulama13)
Imam Ibnu Abdul Barr dalam Jami’ Bayan al ‘Ilmi wa Fadhlihi menukil beberapa pendapat tentang sikap Islami terhadap ulama yang melakukan kesalahan; boleh dihujat atau tidak. Ibnu Abdul Barr berkata, “Banyak orang yang melakukan kesalahan dalam masalah ini dan tumbuh di dalam dirinya kecenderungan jahiliyah yang sebenarnya amat keliru. Padahal dalam masalah ini, jika ada seseorang yang kredibilitas amanahnya tidak diragukan dan ilmunya dapat dipercaya -apalagi sangat peduli terhadap ilmu pengetahuan dan dapat dipertanggungjawabkan- jangan hiraukan perkataan orang banyak tentangnya, kecuali orang itu mampu mendatangkan bukti yang menunjukkan kesalahan yang sangat fatal.

Selain itu, dapat pula dibuktikan melalui kesaksian-kesaksian yang jujur dalam melihat pendapatnya yang berkaitan dengan masalah fiqh. Adapun orang-orang yang tidak memiliki ilmu, belum jelas keimanannya, dan pendapat-pendapatnya tidak dianggap sebagai pendapat yang kuat, terhadap semua yang dikatakan hendaklah diteliti secara mendalam dan penerimaan terhadap pendapat itu dilihat dari kekokohan dalilnya.”

Ia menambahkan, “Tidakkah kau lihat betapa lancangnya al Kufi berkata tentang Sa’ad bin Abi Waqqash Ra bahwa beliau adalah seorang penguasa yang tidak berlaku adil terhadap rakyatnya, tidak melakukan kebaikan dalam penyerangan perang dan tidak mendistribusikan harta negara secara adil. Padahal, kita tahu bahwa Sa’ad Ra adalah seorang sahabat yang ikut perang Badar dan salah seorang dari sepuluh sahabat yang mendapat kabar gembira dengan surga. Beliau pun satu dari enam orang yang diangkat ‘Umar Ra untuk memilih khalifah sesudahnya. Diraiwayatkan bahwa setelah Rasulullah Saw meninggal, beliau ridha’ kepada Sa’ad.”

Kemudian, ia melanjutkan, “Sesungguhnya, orang yang telah melakukan tindakan melampaui batas dalam menghina dan mencela orang lain, mereka tidak akan puas dengan mencela orang-orang umu tanpa mencela orang-orang khusus; mereka tidak akan puas dengan hanya memaki orang bodoh tanpa mencela orang-orang ‘alim. Semua itu adalah gambaran kebodohan dan kedengkian yang mendalam.”

Imam Sufyan ats Tsauri berkata, “Tatkala orang-orang shalih disebut, turunlah rahmat. Siapa yang hanya hafal persengketaan, saling hasad, dengki, marah dan syahwat tanpa menyadari hal yang menjadi keutamaan mereka, ia tidak akan mendapatkan taufik Allah Swt dan ia akan masuk ke dalam ghibah yang akan menyimpangkannya dari kebenaran.”

Abdul Aziz bin Hazim berkata, “Saya pernah mendengar ayah saya berkata, ‘Ulama-ulama terdahulu jika bertemu dengan seseorang alim yang derajatnya berada di bawahnya, mereka tidak akan memandang rendah. Namun zaman kini, justru terjadi yang sebaliknya. Seorang yang lebih rendah ilmunya telah berani menghina para ulama yang jauh lebih tinggi ilmunya dengan harapan dapat melepaskan diri dari ulama tadi. Ia tidak mau jika ada orang yang sejajar dengannya dan selalu merendahkan orang yang ada di bawahnya. Jika begitu keadaannya, hancurlah manusian.” Itu adalah ucapan ayah Abdul Aziz bin Hazim pada masa hidupnya berabad yang lalu, lalu bagaimana dengan sekarang ini menurut anda?

Suatu saat Abdullah bin Mubarak diberitahu bahwa ada beberapa orang yang merendahkan Abu Hanifah. Ibnul Mubarak langsung mengutip sebuah syair:
Mereka iri atasmu saat Allah memuliakanmu
dengan keutamaan orang-orang terpilih

Ada seseorang yang berkata kepada ‘Ashim bin an Nabil tentang beberapa orang yang meremehkan Abu Hanifah, lalu ia pun mengutip sebuah syair:
Kau telah selamat, lalu adakah manusia yang selamat?

Abu Aswad ad Duali berkata, “mereka dengki kepada pemuda itu jika mereka tidak mampu mencapai derajat seperti dirinya. Manusia akan selalu menjadi musuh dan seteru bagi dirinya.”

Diriwayatkan pula bahwa Nabi Musa As berkata, “Wahai Tuhanku, hentikan lidah orang-orang Israil yang menghujatku terus-menerus.” Allah Swt mewahyukan kepadanya, “Wahai Musa, bagaimana mungkin Aku menghentikannya atas dirimu, sedangkan Aku sendiri tidak melakukan itu untuk diriku?”14) Maksudnya, Allah Swt membiarkan Bani Israil mencela Nabi Musa As seperti mereka mencela Allah Swt untuk menunjukkan kepada mereka bahwa mereka adalah contoh manusia yang paling buruk karena kebiasaannya yang suka mencela. Mereka adalah bangsa yang membunuh pemimpin mereka sendiri, Yitzak Rabin, pada tahun 1995. Bahkan, terhadap manusia yang lebih mulia pun -yaitu para Nabi- mereka melakukan hal yang sama. alQuran pun sampai menyebut mereka sebagai bangsa kera dan babi. Itulah seburuk-buruk manusia.

——————————

[13] Isham Talimah, Manhaj Fikih Yusuf al Qaradhawy, hlm. 223-226
[14] Yusuf al Qaradhay menyatakan bahwa riwayat itu israiliyat.

Ikhwan dan Kepedulian terhadap Pemberantasan Bid’ah dan Syirk

Masalah bid’ah dan syirk merupakan penyakit yang telah menggerogoti tubuh umat Islam sejak lama. Bahkan, begitu cepat datangnya tidak lama setelah wafatnya Rasulullah Saw. Oleh karena itu, bangkitlah para ahli ilmu dari kalangan Shigharush Shahabah (sahabat Nabi Saw yang masih kedl ketika Nabi wafat/sahabat junior) setelah masa-masa fitnah untuk membersihkan dua hal itu dan para ahlinya. Penyeleksian hadis pun diperketat karena salah satu pintu gerbang masuknya bid’ah-bid’ah dan khurafat dalam akidah adalah melalui tersebarnya hadis-hadis palsu.

Musibah itu menyebar ke berbagai negeri Islam dan berbagai sisi ajarannya. Paling besar adalah bid’ah dalam akidah yang melahirkan sekte-sekte menyimpang walaupun sebenamya diawali masalah konflik politik-seperti khawarij, harruriyah, syi’ah, rafidhah, mu’tazilah, qadariyah, jabbariyah, murji’ah, mujassimah, musyabbihah, qaramithah, jahmiyah, nushairiyah, baha’iyah, bathiniyah, inkarussunnah, atau sempalan-sempalannya di masa kini seperti ahmadiyah, salamullah, islam jama ‘ah, dan masih banyak lagi. Itulah musibah yang paling berbahaya.

Bid’ah pun menyelinap dalam lapangan ibadah mahdhah yang sebenarnya sudah memiliki kaifiyat langsung dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Namun, tidak sedikit manusia yang tidak puas dan merasa kurang sreg dan afdhal jika tanpa tambahan-tambahan yang mereka pandang indah (sebenamya, setanlah yang menjadikan mereka memandang indah bid’ah yang mereka lakukan). Bahkan, bid’ah dalam ibadah mahdhah itu lebih banyak jumlahnya, lebih variatif ragamnya, dan lebih aneh (nyentrik) caranya. Semua terjadi karena percampuran ajaran Islam dan tradisi atau sisa-sisa kepercayaan agama lain. Islam kini menjadi abu-abu. Ibadah yang nyunnah justru dikatakan bid’ah, bahkan wajib ditinggalkan dan dimatikan cahayanya. Sebaliknya, bid’ah dikatakan sunah, bahkan wajib disyiarkan dan dilestarikan. Dunia tasawwuf-khususnya yang menyimpang-adalah salah satu jalan yang memungkinkan hal itu terjadi.

Semua terjadi dari masa ke masa. Bid’ah, syirk, dan khurafat memiliki pejuang dan pembela seperti as Sunnah. Mereka pun memiliki kader seperti as Sunnah. Di antaranya ada yang berbaju lama, ada juga yang berbaju baru dengan isi yang sama (neo). Namun, pada setiap masa, Allah azza wa Jalla selalu menghadirkan ke tengah-tengah umat Islam, pendekar-pendekar yang amat gigih memerangi itu semua dan mereka merelakan sebagian atau seluruh hidupnya untuk itu. Mereka pun memiliki penerus pada masing masing masa. Mereka adalah Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin Abbas (keduanya sahabat Nabi Saw), Uwais al Qarny (tabi’in terbaik yang diisyaratkan Rasulullah Saw dalam hadis riwayat Imam Muslim), Hasan a! Bashri, Said bin musayyab, Muhammad bin Sirrin, Ibrahim an Nakha’i, Hammad, Abu Zinad, al Auza’i, az Zuhri, ‘Urnar bin Abdul ‘Aziz, Abu Hanifah (semuanya kalangan tabi’in), Malik bin Anas, Laits bin Sa’ad, Sufyan ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Fudhail bin ‘Iyadh, ‘Abdullah bin Mubarak, Syafi’i, Abu Tsaur, al Muzani, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in, Abu Zur’ah (semuanya kalangan tabi’ut tabi’in), Ibnu Jarir ath Thabary, Ibnu Hazm, al Ghazaly, an Nawawi, as Suyuthi, Ibnul ‘Araby al Maliki, Abul Faraj bin al Jauzy (lbnul Jauzy), Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, Adz Dzahabi, Ibnu Rajab alHanbali, Abu Ishaq Syathiby, Ibnu Baththah, Ibnu Hajar Asqalany, Asy Syaukani, Muhammad bin Abdul Wahhab, Shiddiq Hasan Khan, Rasyid Ridha, dan masih banyak lagi (semua kalangan muta ‘akhirin).

Hari ini, ketika jamaah lkhwan telah mendunia, bid’ah dan kesyirikan masih merajalela, bahkan bertambah banyak dan aneh, Oleh karena itu, diantara doktrin dalam manhaj Ikhwan adalah memerangi keduanya. Namun, semua itu tidak dilakukan secara serampangan. Mereka memiliki manhaj yang dipandang baik dan tepat yang belum tentu dipandang baik dan tepat du’at lainnya. Dengan demikian, Ikhwan memposisikan diri sebagai jamaah yang relatif mudah diterima berbagai lapisan masyarakat yang masih dipenuhi bid’ah dan syirk oleh karena itu, wajar jika ada yang mencurigai da’wah Ikhwan dalam memerangi keduanya. Bahkan, ada segolongan kaum muslimin yang menuduh terlalu jauh dan keterlaluan. Mereka menyebutkan justru tokoh-tokoh Ikhwan sendiri telah jatuh ke dalam lembah kesyirikan dan hal itu terus-menerus di-ta ‘limatkan dalam berbagai forum dan media yang mereka miliki. Kata mereka, “Bukti-bukti nyata harakah Ikhwan tidak memperhatikan masalah-masalah akidah adalah banyaknya anggota, bahkan tokoh-tokoh mereka yang jatuh ke lembah kesyirikan dan kesesatan serta tidak mempunyai konsep akidah jelas seperti Hasan al Banna, Sa’id Hawwa, Sayyid Quthb, dan Mushthafa as Siba’i.”14  ‘Umar Tilmisany pun mendapat tuduhan yang sama.15  Dr. Rabi’ bin Hadi-waffaqahullah-berkata tentang Sayyid Quthb, “Menurut kami, diamnya Sayyid Quthb terhadap bid’ah dan kesesatan karena dua hal. Pertama, ia banyak terlibat di sebagian besar bid’ah itu. Kedua, ia tidak peduli dengan masalah itu asalkan dia sendiri tidak terjerumus di dalamnya.16  Itulah perkataan yang dibuat-buat yang sebagiannya telah dibantah masyayikh mereka sendiri. Jadi, tidak perlu kiranya menganggap besar dan luar biasa. Apalagi, perkataan berat itu hanya menghabiskan tidak lebih sepertiga halaman kertas yang menggambarkan begitu sederhana perkara yang ada di kepala untuk memvonis kesyirikan manusia. Ada bagusnya jika mereka mengkaji dahulu manhaj Ikhwan dengan ikhlas dan jernih melalui sumbemya langsung tanpa curiga dan memvonis. Yusuf al Qaradhawy mengatakan, “Ikhwan menolak segala bentuk kemusyrikan, khurafat, dan kebatilan yang melekat pada akidah tauhid seperti yang dilakukan mayoritas orang awam di banyak negara muslim serta yang menonjol pada sebagian orang-orang elite, yaitu berupa thawaf di kuburan orang soleh, bernadzar untuk mereka, memohon doa darinya, meminta pertolongan dari mereka serta melakukan kemungkaran-kemungkaran lain seperti itu.”17

14 Buletin dakwah Ai Furqan edisi lOll Jumadil Ula 1423 H, hlm. 2.
15 As Sunnah edisi 051Th. III/1419-1988, hlm. 25-26.
16 Rabi’ bin Hadi al Madkhaly, Kekeliruan Sayyid Quthb, him. 119.
17 Yusuf aI Qaradhawy, 70 tahun Al lkhwan Al Muslimun, him. 281.

Dalam Ushulul Isyrin (Duapuluh Prinsip)-kami berharap istilah itu tidak di-bid’ah-kan karena mereka sendiri menyebut Ushuluts Tsalatsah terhadap sebagian karya al Mujaddid Ibnu Abdul Wahhab-Hasan al Banna berkata, “Jimat, mantera, guna-guna, ramalan, perdukunan, penyingkapan perkara gaib dan semisalnya adalah kemungkaran yang harus diperangi, kecuali mantera (ruqyah) dari ayat Alquran atau ada riwayat dari Rasulullah Saw.” (prinsip no. 4). “Setiap bid’ah dalam agama Allah yang tidak ada pijakannya tetapi dianggap baik hawa nafsu manusia berupa penambahan maupun pengurangan adalah kesesatan yang wajib diperangi dan dihancurkan dengan cara yang sebaik-baiknya dan tidak menimbulkan bid’ah yang lebih parah.” (prinsip no. 11)

“Perbedaan pendapat dalam masalah bid’ah idhafiyah, bid’ah tarkiyah, dan ‘iltizam terhadap ibadah mutlak (yang tidak ada aturannya) adalah perbedaan dalam masalah fiqh; setiap orang punya pendapat sendiri. Namun, tidak masalah jika dicari penelitian untuk mendapatkan hakikatnya dengan dalil-dalil dan bukti-bukti.” (prinsip no. 12). “Ziarah kubur-kubur siapa pun-adalah suatu hal yang disyariatkan dengan cara-cara yang diajarkan Rasulullah Saw. Akan tetapi, meminta pertolongan kepada penghuni kubur-siapa pun mereka-berdoa kepadanya, memohon pemenuhan hajat (dari jarak dekat maupun jauh), bemazar untuknya, membangun kubumya, menutupi dengan satir (penutup), memberikan penerangan, mengusapnya untuk mendapatkan berkah, bersumpah dengan selain Allah dan segala sesuatu yang serupa dengannya adalah bid’ah yang wajib diperangi. Janganlah pula mencari ta ‘wil ( pembenaran) terhadap berbagai perilaku itu demi menutup fitnah yang lebih parah lagi.” (prinsip no. 14).

Sekarang, lihatlah! Bukankah itu ketegasan yang tidak main-main dari al Banna dan jamaahnya terhadap perilaku menyimpang yang ada di tengah masyarakat kita berupa bid’ah, khurafat, dan qubur? Seperti yang tertera, al Banna menetapkan cara bijak untuk memerangi keduanya dengan harapan tidak melahirkan keburukan yang lebih besar. Jadi, anggapan tepatnya tuduhan-bahwa jamaah ini adalah penyeru dan gudangnya bid’ah18  patut dipertanyakan keakurasiannya, sekedar fitnah, dusta, atau igauan.19

18 AsSunnah, 05/Th. III/1419-1998.
19 Pastinya, jamaah Ikhwan menetapkan sepuluh muwashafat (kriteria sifat) bagi para anggotanya, di antaranya salimuJ aqidah (akidahnya bersih/sehat) dan shahihul ibadah (ibadahnya benar).

Kami menegaskan perlunya bagi siapa pun yang mengkaji masalah ini agar benar-benar memahami bahwa bid’ah yang beredar di masyarakat ada yang disepakati ke-bid’ah-annya dan tidak ada perbedaan pandangan tentangnya. Namun, harus disadari betul pula bahwa ada sejumlah bid’ah yang masih diperselisihkan ke-bid’ah-annya dalam pandangan ulama, yaitu bid’ah dalam pengertian syara’ yang bukan lughawi{bahasa). Masing-masing memiliki dalil untuk menguatkan pandangannya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim yang peduli dengan masalah-masalah itu untuk lebih berhati-hati dan arif. Jangan asal menghakimi sesuatu yang dianggap bid’ah, padahal sebenarnya bukan bahkan mustahab(disukai) syara’ bagi muslim lain. Jangan sampai timbul pertarungan sengit antar muslim dan kita tidak menginginkan terjadinya perpecahan. Tidak ada yang mengingkari bahwa perpecahan adalah bid’ah yang lebih buruk dibanding bid’ah bid’ah yang menjadi polemik itu. Perpecahan pun menunjukkan indikasi cacatnya iman seseorang seperti halnya ukhuwah sebagai indikasi sehatnya iman. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-semoga Allah Swt ridha’ kepadanya-dalam Fatawa al Mishriyah, “Menjaga persatuan itu adalah haq. Oleh karena itu, adakalanya kita perlu mengeraskan basmalah,20 solat witir, atau perkara lainnya berdasarkan nash demi kemaslahatan yang lebih kuat dan kita boleh pula meninggalkan yang lebih utama demi menjaga persatuan hati seperti ketika Nabi Saw tidak membangun Baitullah pada saat pertama kali menaklukkan Mekkah21. Berpaling22 dari hal yang lebih utama kepada yang jaiz (boleh) demi persatuan atau mengenalkan sunnah adalah lebih baik. Wallahu a ‘lam.23

20 Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim berpendapat bahwa tidak mengeraskan basmalah ketika membaca surat dalam solat adalah lebih utama. Seingat kami, itulah mazhab tiga imam: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad. Adapun Imam Asy Syafi’i lebih mengutamakan mengeraskan basmalah. Mereka semua memiliki sandaran dari Rasulullah Saw dan para sahabat. Jadi, tidak perlu saling menyalahkan.
21 Rasulullah Saw berkata kepada Aisyah Ra, “Jika bukan karena kaumku masih dekat dengan kejahiiliyahan, niscaya aku bangun Ka’bah di atas fondasi yang dibangun Ibrahim.” (HR Imam Bukhari)
22 Contoh yang amat terkenal adalah sikap simpatik Imam Asy Syafi’i. Beliau menetapkan masyru’ (disyariatkan)-nya qunut subuh, sementara Imam lainnya tidak. Namun, ketika berkunjung ke wilayah dan “perguruan” mendiang Imam Abu Hanifah, be1iau tidak berqunut subuh demi menghormati wilayah dan “perguruan” Abu Hanifah yang tidak menetapkan qunut. Itu sebagai upaya cerdas menghindari perpecahan. Sebaliknya, bagi yang menetapkan bahwa qunut itu ghairu masyru’ (tidak disyariatkan), ketika solat di masjid yang menetapkan qunut dalam subuh lalu ikut ber-qunut, itu lebih baik demi menjaga persatuan. Hal itu adalah upaya meninggalkan yang lebih utama demi menjaga persatuan umat. Imam Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad tidak pemah membid’ahkan qunut subuh. Ia hanya menyatakan bahwa meninggalkannya adalah tuntunan Nabi Saw yang sebenamya dan itu lebih utama. Bagi yang menganggap qunut subuh itu bid’ah, ketahuilah memaksakan orang lain agar tidak ber-qunut hingga memancing keributan dan pertengkaran adalah bid’ah lebih buruk dibanding qunut itu sendiri karena persatuan adalah kewajiban yang ijma’ (disepakati), sementara qunut jelas jelas diperselisihkan. Jadi, meninggalkan perse1isihan menuju kesepakatan adalah lebih utama tanpa ada yang mengingkari. ‘Umar Ra pemah berkata, “Orang cerdas bukanlah yang mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan, orang cerdas adalah yang mampu mencari yang terbaik di antara dua keburukan.”
23 Yusuf al Qaradhawy, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid I, him. 307.

Imam al Qarrafi al Maliki berkata, “Jika sudah diketahui bahwa segala perintah dalam syariat Islam itu bergantung pada maslahat seperti larangan bergantung pada mafsadat, ketahuilah bahwa kemaslahatan itu ada tingkatannya. Jika maslahat itu ada di derajat terendah, ada hukum sunah. Jika di derajat tertinggi, ada hukum wajib. Begitu pula mafsadat: jika berada di derajat terendah, ada hukum makruh dan tingkatannya akan naik sesuai naiknya mafsadat hingga pada derajat makruh tahrim (hampir haram). Pada tingkat tertinggi, ada hukum haram.”24
Ikhwan mencoba memahami permasalahan itu dengan sebaik-baiknya. Dalam dakwah, ada fiqihnya seperti fiqh solat, fiqh puasa, atau fiqh jihad. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi para penyeru ishlah untuk memperhatikan kaidah amar ma ‘ruf nahi munkar dalam bingkai syara’ dan teladan salafush shalih. Di antara kaidah yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:25 Pertama; mencegah atau memberantas kemungkaran, tetapi setelah itu muncul kemungkaran baru yang lebih besar-hukumnya haram.26 Kedua; mencegah atau memberantas kemungkaran yang sesaat, tetapi justru muncul kemungkaran berkepanjangan-hukumnya haram juga. Ketiga; mencegah atau memberantas kemungkaran, tetapi setelah itu muncul kemungkaran baru yang sama besamya-dipersilakan ber- ijtihad boleh dicegah atau dibiarkan. Keempat, mencegah atau memberantas kemungkaran dengan keyakinan bahwa tidak akan ada kemungkaran kecil atau besar baru yang muncul hukumnya wajib. ltulah kaidah-kaidah dzahabiyah (emas) yang seharusnya selalu kita jadikan pedoman. Apakah hal itu telah dipahami para pengkritik Ikhwan?

24 Yusuf al Qaradhawy, Membumikan Syariat Is1am, him. 66.
25 Imam Ibnul Qayyim membagi kemungkaran menjadi empat macam:
1. Kemungkaran yang dapat dihilangkan dan diganti dengan yang ma’ru/
2. Kemungkaran yang dapat dikurangi meski tidak kese\uruhan
3. Kemungkaran yang tidak dapat diganti kecuali sarna saja
4. Kemungkaran yang tidak dapat diganti kecuali dengan yang lebih buruk
Untuk no. 1 dan 2, keduanya masyru’ untuk dilakukan. No.3 boleh ijtihad, boleh dilakukan atau ditinggalkan. No.4 haram dilakukan pencegahan terhadapnya. (Amin Jum’ah AbdulAziz, Fiqh Da’wah, him. 147-148)
26 Contohnya adalah Ibnu Taimiyah. Ketika beliau bersama murid-muridnya menjumpai beberapa tentara Tar-Tar yang sedang mabuk khamr, beliau mendiarnkannya. Sikapnya itu dipertanyakan murid-muridnya. Ia berkata, “Biarkan mereka. Sesungguhnya Allah Swt melarang kita minum khamr lantaran dapat menghalangi kita untuk mengigat Allah Swt dan berzikir kepada-Nya. Adapun bagi mereka, khamr dapat menghalangi mereka dari menumpahkan darah terhadap manusia.” Itulah Ibnu Taimiyah. Ia memaharni jika beliau mencegahnya, justru muncul petaka berupa pembunuhan.

Ada beberapa bid’ah yang telah disepakati ke-bid’ah-annya. Kita harus serius dalam memberantasnya. Di antaranya, menambah atau mengurangi jumlah rakaat dalam solat fardhu (Kecuali di-qasr), solat sunnah ba’da ashar, atau ba’da shubuh (kecuali meng-qadha solat sunnah fajr), thawaf di kuburan, meminta pertolongan kepada penghuni kubur, ber-tabarruk (minta berkah) kepada kubur, atau menyatakan Alquran sebagai makhluk. Begitupun bid’ah dalam perkara akidah seperti menyebut Allah Swt ada di mana-mana atau tidak ada di mana-mana,27 menjadi sekte sesat seperti khawarij, mu ‘tazilah,28 inkarussunnah, ahmadiyah, atau Islam Jama ‘ah.
Adapun contoh bid’ah yang diperselisihkan (perkara yang dianggap sekelompok ulama boleh-bahkan sunnah-, tetapi dianggap bid’ah kelompok ulama lain), misalnya peringatan Maulid Nabi Saw, Isra’ Mi’raj, membaca doa qunut pada solat subuh, membaca sayyidina sebelum nama Muhammad dalam tasyahud, zikir dengan suara keras, wirid dengan menggunakan subhah (biji tasbih) dan bersalaman setelah solat berakhir. Pada semua perkara itu, kedua pihak disyariatkan untuk tasamuh (toleran) dan salamatush shadr (lapang dada) melihat perbedaan yang syadid (keras) dan berkepanjangan itu.

27 Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berkata, “Aku tidak tahu Allah Swt ada di mana; Allah Swt ada di mana-mana dan tidak ada di mana-mana.”
28 Kini, kelompok itu sudah tidak ada secara jamaah/tanzhim lembaga, tetapi mereka memiliki penerus secara individu dan terpisah di setiap negera. Di Indonesia sedang ramai lahirya kelompok yang tampak sejalan-paling tidak metodologinya sama dengan kaum mu’tazilah. Mereka anak-cucu kaum liberal masa lalu yang menuruti hawa nafsu dalam memahami teks-teks agama. Mereka bagai anak panah lepas dari busurnya tanpa mau berhenti menelaah pandangan mereka dengan merujuk kepada ulama-ulama yang mu’tabar. Sekalipun merujuk, mereka menyesuaikan dulu dengan selera hawa nafsunya dengan alasan mereka pun punya otak untuk berpikir. Para penentangnya dianggap taklid kepada ulama, padahal mereka sendiri taklid pada hawa nafsu. Mereka mencoba untuk tidak taklid kepada ulama, tetapi sayangnya mereka taklid pada hawa nafsu rendah yang ada di otak mereka dan pemikir-pemikir Barat yang mereka kagumi serta hampir-hampir mereka shock dibuatnya. Para penentangnya dianggap tidak dewasa menerima perbedaan, padahal mereka sendiri amat keras terhadap pihak yang berbeda dengan mereka. Kesombongan mereka itu tidak sepantasnya membawa-bawa label Islam-padahal, biasanya mereka tidak suka simbol-simbol agama ditonjolkan-karena Islam berlepas diri dari yang mereka pahami dan kehendaki. Sungguh, Jaringan Islam Liberal (JIL – sebenamya lebih tepat disebut Jaringan Insan Linglung). Mereka tidak akan mendapat tempat di hati masyarakat karena mereka adalah orang-orang “tinggi” dan “besar” dalam ilmunya yang tidak dapat dijangkau akal orang awam, bahkan ulama sekalipun. Oleh karena itu, mereka lebih cerdas dari semuanya! Perbedaan dengan orang-orang seperti itu bukanlah ijtihadiyah

Namun, jika ingin meneliti dan mencari hujjah yang lebih kuat di antara dua pendapat tadi, itu amat dianjurkan. Ketika sudah menemukan jawabannya, tidak dibenarkan baginya mengingkari pihak yang berbeda dan memaksa mereka untuk sama seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah dalam al Fatawa dan Hasan al Banna dalam Ushul ‘Isyrin. Semua dalam cakupan ijtihad dan kita harus menghargai kaidah La Inkara li Masa’il Ijtihadiyah (tidak boleh ada penafikan dalam perkara ijtihad) dan Al ijtihad la Yanqudhu bil ijtihad {sebuah ijtihad tidak dapat dimentahkan hukumnya dengan ijtihad lain}. Demikianlah seharusnya sikap manusia dalam menghadapi segala perbedaan karena khilafiyah dan ijtihad tidak ada kaitannya dengan ma’ruf atau munkar yang harus diperangi.

Mana Lebih Dahulu : Tauhid atau Daulah (negara) ?

Assalamu’alaikum WR. WB

Pak Ustadz yang mudah2an adil. Sebenarnya Dakwah saat ini tauhid dulu atau daulah dulu? Karena saya pernah membaca bahwa di negara Aljazair Partai FIS-nya menang mutlak tetapi malah terjadi pembataian ribuan kaum muslimin (karena perang saudara), mungkin sampai sekarang fitnah belum berhenti benar, sebagaimana terjadi di Sudan, di Suria, atau di Tunisia?

Jawaban:

Assalamu `alaikum Wr. Wb.
Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d

Daulah itu dasarnya tauhid. Jadi sudah pastilah tauhid dahulu seperti yang Anda katakan. Buat apa bikin daulah kalau tidak ada tauhid, betul tidak ? Membuat daulah tanpa dilandasi tauhid itu sama saja dengan bikin rumah tidak pakai pondasi.

Tapi jangan lupa bahwa ketika kita menanam pondasi, tujuannya memang ingin bikin rumah. Sebab kalau yang dikerjakan hanya bikin pondasi saja tanpa pernah mendirikan rumah, tidak bisa dijadikan tempat berteduh dari hujan dan panas, bukan ?

Masalahnya mungkin ada pada perbedaan dalam menentukan, kapankah kita mulai mendirikan dinding rumah ini ? Sebagian dari umat ini berkata bahwa pondasinya belum selesai, jadi jangan dulu mendirikan bangunan. Sementara yang lain mengatakan bahwa pondasi utama sudah lumayan jadi dan kuat, maka tidak ada salahnya bila kita sudah mulai memikirkannya juga untuk mendirikan dindingnya.

Kalau ini yang terjadi maka sangat mudah menyelesaikannya. Kedua belah pihak duduk sama-sama memeriksa apakah benar pondasinya sudah jadi atau belum. Kalau ternyata sudah, maka tidak salah kan kalau mulai mendirikan bangunan. Dan kalau belum, maka marilah sama-sama menguatkan pondasinya.

Yang agak sulit adalah bisa kedua belah pihak sama sama ‘ngeyel’ dengan maunya sendiri. Yang satu mengatakan bahwa rumah tidak perlu, yang penting bikin pondasi saja. Dan yang lain mengatakan bahwa pondasi tidak perlu dibuat, yang bikin rumah saja. Nah, kalau kasusnya demikian, memang agak sulit menyatukannya. Sebab prinsip keduanya memang sejak awal sudah beda.

Bahwa partai-partai Islam di berbagai negeri masih banyak yang belum bisa menempuh cita-cita mendirikan negera Islam dan menegakkan syariat di dalamnya, bukan berarti kita tidak perlu memperjuangkannya. Tapi yang pasti, memperjuangkan tegaknya negara Islam dan hukumnya bukanlah perkara mudah. Apalagi bila berangkat dari ketidak-samaan persepsi dari banyak pihak, maka alih-alih kita bisa menikmati tegaknya Islam, yang terjadi malah perpecahan dan ketidak-efisienan di dalam tubuh umat sendiri.

Mendirikan partai Islam itu tidak mudah dan setelah berdiri untuk sekedar bisa eksis pun banyak tantangannya. Apalagi untuk menang dan menjadi penguasa. Jarang-jaran terjadi saat ini di dunia Islam. Tapi paling tidak kita perlu menghargai ijtihad saudara kita sendiri yang merasa yakin bahwa Islam bisa diperjuangkan di dalam dan melalui parlemen.

Paling tidak, itulah yang dilakukan para ulama kita hari ini. Misalnya Syeikh Bin Baz ketika ditanyakan tentang dakwah melalui parlemen, beliau mengatakan bahwa bila memang demikian posisinya, tentu harus dilakukan :

Fatwa Pertama
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz tentang dasar syariah mengajukan calon legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan hukum Islam atas kartu peserta pemilu dengan niat memilih untuk memilih para da’i dan aktifis sebagai anggota legislatif. Maka beliau menjawab :

Rasulullah SAW bersabda bahwa setiap amal itu tergantung pada niatnya. Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya. Oleh karena itu tidak ada masalah untuk masuk ke parlemen bila tujuannya memang membela kebenaran serta tidak menerima kebatilan. Karena hal itu memang membela kebenaran dan dakwah kepada Allah SWT. Begitu juga tidak ada masalah dengan kartu pemilu yang membantu terpilihnya para da’i yang shalih dan mendukung kebenaran dan para pembelanya, wallahul muwafiq.

(Silahkan Baca Majalah Liwa’ul Islam – Edisi 3 zulqa’dah 1409 H)

Fatwa Kedua
Majalah Al-Ishlah Emirat melakukan wawancara dengan Syaikh Bin Baz dan menuliskan laporannya pada edisi 241 tanggal 13 Juni 1993, berikut ini petikannya :

Al-Ishlah : Apakah para ulama dan duat wajib melakukan amar makruf nahi munkar dalam bidang politik ? Dan bagaimana aturannya ?

Bin Baz : Dakwah kepada Allah SWT itu mutlak wajibnya di setiap tempat. Amar makruf nahi munkar pun begitu juga. Namun harus dilakukan dengan himah, uslub yang baik, perkataan yang lembut, bukan dengan cara kasar dan arogan. Mengajak kepada Allah SWT di DPR, di masjid atau di masyarakat.

Bila dia memiliki bashirah dan dengan cara yang baik tanpa berlaku kasar, arogan, mencela atau ta’yir melainkan dengan kata-kata yang baik. Dengan mengatakan wahai hamba Allah, ini tidak boleh semoga Allah SWT memberimu petunjuk. Wahai saudaraku, ini tidak boleh, karena Allah berfirman tentang masalah ini begini dan Rasulullah SAW bersabda dalam masalah itu begitu. Sebagaimana firman Allah SWT :

Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS. An-Nahl : 125).

Ini adalah jalan Allah dan ini adalah taujih Rabb kita. Firman Allah SWT :

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. …(QS. Ali Imran : 159)

Dan tidak merubah dengan tangannya kecuali bila memang mampu. Seperti merubha istri dan anak-anaknya, atau seperti pejabat yang berpengaruh pada sebuah lembaga. Tetapi bila tidak punya pengaruh, maka dia mengangkat masalah itu kepada yang punya kekuasaan dan memintanya untuk menolak kemungkaran dengan cara yang baik.

Fatwa Ketiga
Al-Ishlah. Para mahasiswa banyak bertanya tentang hukum masuknya para ulama dan duat ke DPR, parlemen serta ikut dalam pemilu pada sebuah negara yang tidak menjalankan syariat Islam. Bagaimana aturannya ?

Syaikh Bin Baz. Masuknya mereka berbahaya, yaitu masuk ke parlemen, DPR atau sejenisnya. Masuk ke dalam lembaga seperti itu berbahaya namun bila seseorang punya ilmu dan bashirah serta menginginkan kebenaran atau mengarahkan manusia kepada kebaikan, mengurangi kebatilan, tanpa rasa tamak pada dunia dan harta, maka dia telah masuk untuk membela agam Allah SWT, berjihad di jalan kebenaran dan meninggalkan kebatilan.

Dengan niat yang baik seperti ini, saya memandang bahwa tidak ada masalah untuk masuk parlemen. Bahkan tidak selayaknya lembaga itu kosong dari kebaikan dan pendukungnya. Bila dia masuk dengan niat seperti ini dengan berbekal bashirah hingga memberikan posisi pada kebenaran, membelanya dan menyeru untuk meninggalkan kebatilan, semoga Allah SWT memberikan manfaat dengan keberadaannya hingga tegaknya syariat dengan niat itu.

Dan Allah SWT memberinya pahala atas kerjanya itu. Namun bila motivasinya untuk mendapatkan dunia atau haus kekuasaan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Seharusnya masuknya untuk mencari ridha Allah, akhirat, membela kebenaran dan menegakkannya dengan argumen-argumennya, niscaya majelis ini memberinya ganjaran yang besar.

Fatwa Keempat
Pimpinan Jamaah Ansharus sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan, Syaikh Muhammad Hasyim Al-Hadyah bertanya kepada Syaikh bin Baz pada tanggal 4 Rabi’ul Akhir 1415 H. Teks pertanyaan beliau adalah :

Dari Muhammad Hasyim Al-Hadyah, Pemimpin Umum Jamaah Ansharus-Sunnah Al-Muhammadiyah di Sudan kepada Samahah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, mufti umum Kerajaan Saudi Arabia dan Ketua Hai’ah Kibar Ulama wa Idarat Al-buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta’.

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb. Saya mohon fatwa atas masalah berikut :

Bolehkah seseorang menjabat jabatan politik atau adminstratif pada pemerintahan Islam atau kafir bila dia seorang yang shalih dan niatnya mengurangi kejahatan dan menambah kebaikan ? Apakah dia diharuskan untuk menghilangkan semua bentuk kemungkaran meski tidak memungkinkan baginya ? Namun dia tetap mantap dalam aiqdahnya, kuat dalam hujjahnya, menjaga agar jabatan itu menjadi sarana dakwah. Demikian, terima kasih wassalam.

Jawaban :
Wa ‘alaikumussalam wr wb.
Bila kondisinya seperti yang Anda katakan, maka tidak ada masalah dalam hal itu. Allah SWT berfirman,”Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan”.

Namun janganlah dia membantu kebatilan atau ikut di dalamnya, karena Allah SWT berfirman,”Dan janganlah saling tolong dalam dosa dan permusuhan”.
Waffaqallahul jami’ lima yurdhihi, wassalam wr. Wb.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

Diambil dari http://syariahonline.com/konsultasi/?act=view&id=5961